Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Rempang Tanah Rakyat Melayu

Pulau rempang, kawasan ini menjadi perbincangan hangat di pelbagai media mainstream di negeri saat ini.

Editor: Sudirman
Ist
Taufikurrahman, Mahasiswa Hukum Keluarga, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Makassar 

Dan Inilah awal mula terjadinya gemuruh di tanah rempang, tanah melayu yang ramah, kini berubah wajah menjadi kepungan gas air mata dititik wilayah penolakan.

Imbasnya, anak-anak yang tidak bersalahpun, harus menghirup gas air mata yang sampai keruang-ruang tempatnya mencari ilmu.

Celotan penolakan dari rakyat melayu merupakan bukti, bahwa rencana relokasi tanah rempang bukanlah hal yang baik.

Karena mereka paham, bagaimana menjaga dan merawat tanah leluhurnya agar tidak dirongrong oleh para investor asing maupun aseng.

Kemudian rencana relokasi ini, kemungkinan besar akan terus berjalan sebagaimana batas waktu yang diberikan bahwa, sebelum tanggal 28 september pulau rempang harus kosong.

Rumah-rumah adat yang memiliki nilai kehidupan orang melayu, seakan terbayang roboh pada saat puluhan buldoser para investor itu datang membongkarnya.

Mereka khawatir akan kedatangan pabrik-pabrik besar itu nanti, dimana kotoran-kotorannya bisa melumpuhkan biota laut mereka, melihat kebanyakan penduduk pulau tersebut bertahan hidup dengan cara berlaut.

Asap ‘dapur pabrik’ yang mungkin bisa membunuh keluarga mereka secara perlahan, hingga pada ketakutan akan hilangnya, nilai-nilai adat yang lama melekat dalam kehidupanya.

Dengan rencana penggusuran yang membawa masyarakat melayu untuk menghuni rumah-rumah susun, bukanlah solusi yang ideal.

Sungguh ironi, dengan keadaan para elit yang memakai baju dinas itu. Seharusnya mereka bisa sadar, bahwa rakyatlah yang memberikan berbagai anggaran untuk negara lewat pajak.

Dan anggaran upah kerja merekapun, terpenuhi dari perasan keringat para rakyat miskin yang berharap ada perlindungan, dari kebijakan yang mereka buat.

Dipulau rempang sendiri, terdapat 16 kampung tua atau pemukiman warga asli.

Yaitu, dari suku melayu, suku orang laut, dan suku orang dayat yang telah lama menjaga dan bermukim dipulau itu sejak tahun 1834.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal dipulau tersebut, yang menggantungkan nasib pada kebaikan nurani para elit negara.

Sungguh aneh, melihat keadaan negeri ini yang seakan darurat akan ‘perhatian’ para investor asing maupun aseng.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved