Opini
Semangat Kemerdekaan Di Hari Penyiaran Nasional ke-90
Puncak peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-90 dirayakan meriah di Bintan, Kepulauan Riau Sabtu pekan lalu, (12/08).
Akhmad K Syamsuddin
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin
Puncak peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-90 dirayakan meriah di Bintan, Kepulauan Riau Sabtu pekan lalu, (12/08).
Tanggal 1 April 1933 dipilih sebagai tahun acuan karena pada tahun itu berdiri Lembaga Penyiaran Radio milik pribumi pertama di Solo yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakasai oleh KGPAA Mangkunegoro VII.
Meski jika dirunut ke belakang, dasar awal perkembangan siaran radio di Hindia Belanda kala itu memiliki sejarah yang panjang, namun tanggal berdirinya SRV ini kemudian dijadikan dasar sebagai hari lahirnya penyiaran nasional.
Proses penetapan Hari Penyiaran Nasional membutuhkan waktu yang cukup lama hingga ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Keppres pada 2019 lalu.
Meski berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Hari Penyiaran Nasional, tanggal 1 April setiap tahunnya dirayakan sebagai Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas), namun momentum puncak Harsiarnas dirayakan Agustus ini.
Peringatan Harsiarnas menginjak tahun ke-90 dan tema yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yakni “Siaran Sehat Pemilu Bermartabat”.
Puncak peringatan Harsiarnas ke-90 ini menjadi momentum tersendiri dalam penyelenggaraan siaran di Indonesia.
Pasalnya, terhitung sejak tanggal 2 Agustus 2023, KPI menyatakan proses transformasi siaran analog ke siaran digital telah tuntas dengan dimatikannya siaran TV Analog di seluruh Indonesia.
Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Geryantika Kurnia menyatakan, siaran televisi (TV) analog di seluruh Indonesia resmi dimatikan per 2 Agutus 2023.
Penghentian siaran analog ini juga disebut sebagai momentum ‘kemerdekaan penyiaran Indonesia’ menuju siaran digital yang lebih berkualitas dan bermanfaat.
Setelah ditandai mengudaranya Televisi Republik Indonesia (TVRI) selama 60 tahun di ranah siaran analog. «Merdeka dari analog beralih ke televisi digital,» pungkas Gery (Kompas.com, 6/8/2023).
Menurut data Kemenkominfo, hingga saat ini, sebanyak 654 stasiun TV terestrial di Tanah Air telah bersiaran secara digital dan tinggal menyisakan sebagian kecil yakni 31 siaran TV analog yang sedang berproses melakukan migrasi ke siaran digital.
Sementara itu, lembaga pemeringkat rating, Nielsen yang mengukur secara berkala perkembangan rating acara dan indikator TV di 11 kota utama di Indonesia.
Yakni Greater Jakarta, Bandung, Greater Surabaya, Semarang, Greater Yogyakarta, Surakarta, Greater Denpasar, Medan, Makassar, Palembang, dan Kota Banjarmasin, menyatakan penetrasi siaran TV digital di 11 kota sudah mendekati 95 persen dan secara nasional mendekati 80 persen.
Selain itu, pada Juni 2023, Kemenkominfo menyatakan, sebelum program ASO dijalankan, populasi penonton TV analog sekitar 129,8 juta orang dan setelah berlakunya ASO hingga 1 Juni 2023, jumlah penonton siaran digital sudah mencapai sebanyak 124,2 juta penonton, dimana angka tersebut telah mendekati jumlah penonton TV analog.
Dengan kondisi tersebut, penetrasi 100 persen secara nasional diharapkan sudah terealisasi sebelum peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang.
Sebuah harapan yang optimis di Hari Kemerdekaan Indonesia.
Namun kemerdekaan tentu saja tak sekedar proklamasi.
Sehimpun kerja mewujudkan kemerdekaan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat tentu menanti.
Begitu pula dengan penyelenggaraan siaran digital di Indonesia, beberapa pekerjaan rumah masih menunggu untuk diwujudkan.
Pertama, kondisi geografis Indonesia yang beragam, baik berupa kontur pegunungan maupun lansekap kepulauan harus terus menjadi perhatian dari penyelenggara siaran digital.
Adanya kondisi tersebut ini menjadi salah satu hambatan dalam distribusi Set Top Box (STB) yang menjadi alat tambahan bagi televisi analog untuk menangkap siaran digital di berbagai daerah.
Selama pelaksanaan ASO, tercatat 5,6 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) berhak mendapatkan bantuan STB, dimana 1,3 juta akan diberikan oleh pemerintah sedang 4,3 juta lainnya akan diberikan oleh Lembaga Penyelenggara Siaran atau Stasiun Televisi.
Dari perkembangan terakhir, khusus mengenai ketersediaan STB, tercatat 53 produsen yang memproduksi 75 jenis STB yang tersertifikasi minimal TKDN (tingkat komponen dalam negeri) 20 persen, diharapkan menjadikan STB ini bisa dijangkau oleh seluruh warga negara Indonesia.
Namun hingga saat ini distribusi STB yang belum merata dan keharusan membeli STB bagi sebagian warga Indonesia masih menjadi catatan untuk keterjangkauan siaran digital di seluruh wilayah Indonesia.
Kedua, sesuai dengan semangat kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia, siaran digital harus menghadirkan berbagai representasi budaya yang ada di Indonesia.
Dari pesan yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, dalam rangkaian peringatan Harsiarnas ke-90 di Kepulauan Riau, Sabtu (12/08/2023) lalu, dimana setiap penyelenggara siaran digital berjaringan mesti mengemas budaya lokal ke dalam konten yang menarik, mesti menjadi perhatian setiap Penyelenggara Siaran Digital Televisi.
Apatah lagi, Peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Program Siaran Lokal bagi Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), telah mewajibkan terpenuhinya 30 persen siaran lokal dari keseluruhan jam siaran bagi setiap stasiun televisi berjaringan.
Dan hak publik di daerah ini, harus terus didorong setiap KPID di daerah provinsi, sehingga keterwakilan beragam budaya lokal dalam konten siaran dapat tercapai.
Ketiga, migrasi siaran digital yang relatif terlambat berhadapan dengan disrupsi digital.
Adanya perubahan kebiasaan (comsumer behavior) penonton televisi terutama generasi muda, membuat jumlah penonton televisi yang kian tergerus oleh konten media sosial yang lebih tersegmentasi lebih luas.
Berdasarkan data dari “We Are Social” per Januari 2023, menyebutkan bahwa 77 persen populasi Indonesia atau setara dengan 212,9 juta jiwa saat ini merupakan pengguna internet.
Hal ini menandakan media sosial menjadi salah satu sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat saat ini.
Penetrasi digital ini sangat berdampak bagi publik, sehingga pengguna pun bergeser.
Pengguna TV menurun jadi 81 persen, tapi pengguna internet meningkat jadi 76,7 persen.
Seperti terlihat pada banyaknya pelaku industri hiburan kini punya saluran dan program media sosial tersendiri alih-alih hanya mengandalkan syuting televisi.
Terakhir, khusus memasuki tahun politik 2024, sesuai dengan tempa peringatan Harsiarnas tahun ini, “Siaran Sehat Pemilu Bermartabat”, media penyiaran harus kembali menjadi rujukan --atau jika meminjam istilah KPI, menjadi ‘penjernih’ di tahun politik yang seringkali dipenuhi informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Peran lembaga penyiaran terutama sebagai barometer informasi bagi masyarakat, karena kontrol pemberitaan lebih faktual ketimbang media sosial.
Posisi media penyiaran sebagai media verifikator yang tepat dan bertanggungjawab ikut menentukan animo, peran, dan pilihan masyarakat dalam Pemilu mendatang.
Karenanya, media penyiaran dituntut menjaga independensi dan netralitas dalam menyajikan berita jelang Pemilu mendatang. Dirgahayu Republik Indonesia. Majulah Penyiaran Indonesia!

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.