Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Mitigasi Sosial Melenturkan Polarisasi, Mencegah Konflik di Tahun Politik

Tahun ini adalah tahun tebar pesona bagi politisi untuk merebut simpati konstituen. Perangkat alat peraga eksistensial berupa baliho, spanduk, dll

Editor: AS Kambie
DOK PRIBADI
Irfan Yahya, Dosen Sosiologi Fisipol Unhas 

Di dalam laporan Edelman Trust Barometer 2023 yang di kutip oleh Kompas sekitar pertengahan Januari 2023 lalu, Indonesia dimasukkan sebagai kategori negara dengan polarisasi yang rendah.

Namun menurutnya, menjelang kontestasi politik 2024 diprediksi akan berpotensi memupuk kembali polarisasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga kondisi ini memaksa kita untuk melakukan mitigasi sosial secara menyeluruh.

Edelman Trust Barometer 2023 adalah bentuk survei daring tahunan yang dirilis pada 19 Januari 2023. Survei dilaksanakan di 28 negara dengan lebih kurang 32.000 responden atau 1.150 responden per negara. Edelman Trust Barometer 2023 melaporkan bahwa ada empat aspek utama yang digunakan dalam memotret polarisasi, yakni kegelisahan ekonomi, ketidakseimbangan institusional, perbedaan kelas dalam masyarakat, serta pertarungan atas kebenaran.

Setiap aspek mencakup beberapa indikator, semisal kegelisahan ekonomi terkait dengan optimisme ekonomi responden, sementara ketidakseimbangan institusional terkait kepercayaan responden terhadap pemerintah dan institusi bisnis.

Salah satu poin utama dalam Edelman Trust Barometer 2023 adalah polarisasi yang terjadi dengan mengacu pada perbedaan yang kemudian mengakar di sebuah negara.

Terdapat tiga kelompok, yakni negara yang polarisasinya rendah karena responden menyatakan hanya melihat sedikit perbedaan; kemudian negara dengan polarisasi moderat yang mana responden menyatakan melihat perbedaan yang dalam tetapi masih berpikir bahwa hal itu bisa diatasi; dan yang ketiga berupa negara dengan polarisasi dengan perbedaan mendalam yang dipersepsi hal itu tidak akan pernah teratasi.

Dalam hal ini, Indonesia masuk dalam kategori negara dengan polarisasi sedikit atau rendah bersama negara seperti Singapura, China, Arab Saudi, Malaysia, dan Uni Emirat Arab. Sementara itu, negara yang dipersepsi sangat terpolarisasi antara lain Argentina, Amerika Serikat, Spanyol, Swedia, dan Kolombia.

Dalam konteks politik Indonesia, polarisasi sering kali terjadi ketika dua atau lebih kelompok masyarakat memiliki cara pandang berbeda walaupun pada permasalahan yang sama.

Perbedaan cara pandang ini terjadi karena dipengaruhi oleh aspek ideologi, kepentingan politik, agama, ekonomi, etnis, gender dan faktor sosial lainnya, sehingga melahirkan polarisasi, mendorong terbentuknya kubu-kubu yang saling berlawanan dan berusaha memenangkan preferensi publik.

Jika ketegangan polarisasi yang terus meningkat, maka dampak negatifnya adalah konflik sosial. Dalam setiap kontestasi, ketegangan antar kubu pendukung yang berbeda pandangan dapat memicu konflik fisik maupun verbal. Konflik ini bisa terjadi di berbagai level tingkatan, mulai dari skala kecil hingga pada level meronrong stabilitas nasional.

Dalam konteks politik, polarisasi dan konflik sering kali mempengaruhi proses kontestasi politik, debat publik, dan bahkan dapat berlanjut hingga ke periode pemerintahan, jika kubu yang menang dalam kontestasi tersebut tidak segera merangkul kubu yang dikalahkan atau melakukan upaya rekonsiliasi.

Berdasarkan pengamatan sepanjang perhelatan kontestasi politik yang berlansung di Republik ini, beberapa faktor sosial yang dapat memperkuat polarisasi dan memicu konflik antara lain. Pertama: Arus informasi yang begitu kuat melalui media sosial. Media sosial memiliki peran besar dalam mempengaruhi pandangan masyarakat.

Menyebarkan informasi yang tidak akurat, berita hoax, dan perang informasi dapat memperkuat polarisasi karena masyarakat lebih cenderung mengikuti pandangan yang sejalan dengan kepercayaan dan keyakinan mereka.

Kedua: Kesenjangan sosial dan ekonomi. Hal ini berkonstribusi nyata dalam melahirkan polarisasi karena memupuk rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa atau elit politik.

Kelompok masyarakat yang merasa terpinggirkan rentan disusupi dengan narasi-narasi perlawanan dan pembangkangan. Ketiga: Kultur dialog tidak berjalan secara sehat. budaya diskusi yang tidak sehat, seperti maraknya hate speech, penghinaan, atau sikap in toleran kepada setiap pendapat yang berbeda, memicu rasa kebencian dan dendam sehingga menyuburkan polarisasi dan konflik.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved