Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Mitigasi Sosial Melenturkan Polarisasi, Mencegah Konflik di Tahun Politik

Tahun ini adalah tahun tebar pesona bagi politisi untuk merebut simpati konstituen. Perangkat alat peraga eksistensial berupa baliho, spanduk, dll

Editor: AS Kambie
DOK PRIBADI
Irfan Yahya, Dosen Sosiologi Fisipol Unhas 

Oleh: Irfan Yahya
Dosen Magister Sosiologi Fisipol Unhas/Peneliti di Puslit Opini Publik LPPM Unhas dan Aktivis Hidayatullah

TRIBUN-TIMUR.COM - Lho kok mitigasi sosial? Bukannya mitigasi istilah untuk bencana alam saja. Mungkin itulah sekelumit pertanyaan yang melintas di benak kita ketika membaca judul tulisan ini.

Selama ini istilah mitigasi akrab kita dengar ketika berurusan dengan bencana alam, sehingga istilah mitigasi bencana begitu akrab di telinga kita. Dari hasil googling dapat simpulkan bahwa mitigasi merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan, baik sebelum, selama, maupun pasca bencana untuk meminimalisir efek buruknya bencana tersebut pada masyarakat dan lingkungan.

Penyebab bencana itu ada dua, ada yang terjadi karena perubahan dan gejala alam, ada juga akibat ulah tangan-tangan manusia yang jahil bin serakah. Upaya mitigasi tujuan utamanya untuk mengurangi risiko bencana dan meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi akibat peristiwa alam seperti gempa bumi, banjir, badai, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Menyimak dan mengamati dinamika kehidupan sosial politik berbangsa dan bertanah air akhir- akhir ini, khususnya yang bersileweran di jagad dunia maya, tiba-tiba terlintas ide dan pikiran untuk melekatkan istilah mitigasi ini dengan kondisi sosial politik yang sedang marak tersebut.

Tujuannya adalah untuk meminimalisir terjadinya polarisasi yang tingkat ketegangannya awet hingga dapat berujung pada terjadinya konflik.

Mitigasi sosial memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang lebih Tangguh, berdaya dan siap lebih dewasa menyikapi setiap masalah sosial politik yang muncul, khuhusnya ketika sedang menghadapi kontestasi politik, seperti yang kita hadapi saat ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah dan sedang berjibaku pada fungsi dan tugasnya, sesuai porsi yang diamanatkan oleh negara melalui undang-undang nomor 7 tahun 2017 kepadanya.

Wajah dan arah demokrasi Indonesia, serta harkat martabat dan hajat hidup rakyat Indonesia setidaknya ditentukan pada momentum ini. Tahun politik selalu menjadi momen krusial bagi Indonesia.

Tahun ini adalah tahun tebar pesona bagi politisi untuk merebut simpati para konstituen. Perangkat alat peraga eksistensial berupa baliho, spanduk dan lain-lain memenuhi ruang-ruang publik, pesona politik berupaya disajikan untuk menyihir alam bawah sadar massa rakyat, perhelatan akbar menguasai belantara dunia maya dan dunia nyata. efeknya membuat persepsi masyarakat acapkali terpolarisasi, ada friksi dan bahkan cenderung terjadi konflik sosial.

Kondisi ini bukanlah sesuatu hal yang baru, dalam kontestasi politik di tanah air kita, kondisi ini kerap kita jumpai.

Namun meskipun demikian perlu menjadi perhatian serius bagi semua anak bangsa di Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Dalam perspektif sosiologis, kondisi bangsa saat ini memberi alarm darurat mitigasi sosial untuk melenturkan polarisasi yang terjadi, dan menghindari terjadinya konflik sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan stabilitas dan keharmonisan sosial di tengah keragaman.

Polarisasi adalah sebuah kemutlakan, tidak bisa dihindari, yang paling memungkinkan dilakukan adalah bagaimana menjaga kelenturan dari polarisasi tersebut, sehingga tidak berujung pada sebuah konflik.

Pada ruang inilah negara dibutuhkan hadir, pada sisi inilah para cerdik pandai Republik ini seharusnya tampil, bukan justru sebaliknya. Polarisasi selalu bersandar pada proses penciptaan persepsi yang saling bertentangan atau bahkan berseberangan dalam suatu isu atau konflik.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved