Opini
Wasit Legendaris Ahmad Karim: Ris, Saya Orang Makassar Gak Takut dengan Kau
Ia wasit legendaris berlisensi FIFA pertama asal Sulawesi Selatan (Sulsel) saat dihubungi melalui aplikasi WhatsApp, Minggu malam (30/7/2023).
Tersulut emosi.
Sebagai wasit, Karim melerai. Dan tak bergeming tuntutan agar menjatuhkan hukuman kepada salah satunya.
Karim menempuh upaya persuasif. Memanggil keduanya dan memberikan peringatan keras.
“Kalian mau main bola atau berkelahi?” tantang Karim.
“Main bola…om,” jawab keduanya.
“Jangan ulangi lagi. Ayo..salaman,” lanjut Karim seraya mengisyaratkan ancaman kartu kepada keduanya.
Ketegasan Ahmad Karim jadi buah bibir dikalangan pemain, pelatih dan pemilik klub.
Tidak mau diatur-atur, apalagi bujukan suap. Membuat dirinya disegani dan berwibawa dimata insan persepakbolaan tanah air.
Bahkan seorang Wali Kota Makassar yang juga Ketua Umum PSM Makassar ketika itu, HM Daeng Patompo, dalam suatu kesempatan membisikinya.
“Pak Karim salahsatu wasit terbaik Indonesia dari Makassar. Kami bangga dengan itu. Jujur selama ini hanya satu kekurangan bapak.”
“Apa itu, beritahu supaya saya bisa perbaiki” tanya Karim penasaran.
“Kalau PSM yang bermain, tidak pernah di ambil-ambilkan (maksudnya dibantu,red),” kata Patompo.
Hal senada juga diungkapan anaknya. ”Saya pernah baca Tempo zaman dulu dan dengar cerita orang, bahwa A Karim (nama yang dipakai ayahnya untuk wasit) sangat tegas dan disegani dalam memimpin pertandingan,” kata Rinwar Karim.
Rinwar yang seorang arsitek jebolan Universitas Hasanuddin (Unhas) ini menambahkan bahwa dari cerita ayahnya, legenda sepakbola Indonesia, Ronny Pattinasarani pernah bertutur: “Jangan macam-macam kalau Om Karim yang pimpin pertandingan.”
Ahmad Karim yang berkarir sebagai wasit sepakbola sejak 1965 mungkin tak banyak yang kenal.
Namun buat penikmat sepak bola Indonesia era 1960-an hingga awal 1980-an, masih mengingat wasit legendaris Tanah Air ini.
Ia dikenal sebagai satu di antara pengadil lapangan terbaik, jika bukan yang terbaik, yang pernah dimiliki Indonesia.
Karim sudah makan asam garam di dunia perwasitan.
Saat masih mudanya, ia kerap memimpin sejumlah pertandingan dalam negeri skala nasional.
Awalnya sebenarnya tidak ada keinginan Karim jadi wasit.
Dia maunya jadi pemain lalu jadi pelatih.
Tapi ia teringat kata temannya, jadi pemain berat banyak saingan.
Begitu juga jadi pelatih itu sulit kalau bukan pemain sepak bola top.
Bak gayung bersambut. Suatu waktu, di tahun 1965, di bulan Agustus.
Anak muda asal Bantaeng ini mengikuti Kongres PSSI di Jakarta. Sebagai pengurus klub “Gasbob” (Gabungan Sepakbola Bonthain).
Pada saat yang bersamaan rupanya diselenggarakan juga kursus wasit. Ia lantas melapor Ketua Komda PSSI Sulsel ketika itu, Haji Faisal Thung.
“Iya…kamu gak usah ikut rapat-rapat Kongres. Ikut saja kursus wasit mewakili Gasbob,” perintahnya seperti ditirukan Karim.
Pada jaman dulu, yang punya wasit itu sebenarnya klub. Karena dulu klub internal itu aktif menggelar kompetisi dan setiap tim wajib mengirimkan satu atau dua pemain untuk dididik menjadi wasit.
Tujuannya untuk memimpin pertandingan di kompetisi internal dan agar wasit klub tersebut bisa mensosialisasikan aturan permainan kepada rekan setim, manajer, dan pelatih.
Sehingga harapannya tidak ada ribut-ribut soal aturan permainan.
Ketika ikut kursus wasit C1 nasional pada 1965, yang awalnya iseng, Karim semakin tertarik menjadi wasit.
Apalagi ia mendengar kabar jadi wasit itu enak karena keliling dunia tanpa mengeluarkan uang, bahkan kita malah dibayar. Selain itu kita lari-lari, sehat, tapi dikasih uang.
"Alhamdulilah dari 30 orang peserta yang ikut kursus wasit saat itu, tujuh orang lulus, termasuk saya. Yang lebih menggembirakan, saya terpilih peserta terbaik dengan memperoleh nilai tertinggi," kenangnya.
Saat dinyatakan lulus, Karim lalu diminta menyampaikan sambutan mewakili peserta lainnya.
Ia sempat grogi karena bicara dihadapan sejumlah pejabat kabinet Presiden Soekarno, seperti Menteri Koordinator Luar Negeri Subandrio, DN Aidit, dan Jusuf Muda Dalam.
Sebagai wasit nasional, Karim memimpin berbagai pertandingan dalam negeri.
Termasuk yang berkesan saat ditunjuk jadi pengadil lapangan dalam sejumlah laga “final round” Perserikatan PSSI di stadion utama Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno/GBK).
Selama itu, PSSI meneropong Karim memiliki kinerja yang baik.
Federasi sepakbola tertinggi tanah air itu pun mengajukan nama Karim ke FIFA pada 1972.
"Saya dites di Jakarta. Dan akhirnya lulus bersama empat orang lain dari Surabaya, Sukabumi, dan Medan,” ungkapnya. Sejak itu, Karim menyandang lencana Wasit FIFA dan memimpin sejumlah pertandingan internasional.
Laga internasional yang pertama dipimpin Karim adalah antara Timnas Indonesia vs Klub Aalborg dari Swedia.
Lalu pernah juga memimpin laga Ajax Amsterdam vs Manchester United di stadion utama Senayan tahun 1970-an, Feyenoord Belanda vs PSM di stadion Mattoanging Makassar.
Sedangkan di pentas turnamen berskala internasional yang pernah dilakoni Karim sebagai wasit seperti “King's Cup” di Bangkok (Thailand), “Merdeka Games”, di Kualalumpur (Malaysia), Piala President di Seoul (Korsel) dan Dakka (Pakistan).(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.