Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Pemimpin yang Cakap Bukan yang Gagap

SALAH satu titik lemah kepemimpinan pada umumnya termasuk di Persyarikatan Muhammadiyah (tentu saja tidak bermaksud menggeneralisasi)

|
Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Pemimpin yang Cakap Bukan yang Gagap
Usman Abdhali Watik
Usman Abdhali Watik, Direktur Eksekutif “Leader of Indonesia-UMJ”

Oleh: Usman Abdhali Watik

Direktur Eksekutif “Leader of Indonesia-UMJ”

SALAH satu titik lemah kepemimpinan pada umumnya termasuk di Persyarikatan Muhammadiyah (tentu saja tidak bermaksud menggeneralisasi) adalah seringkali hanya bertumpu pada kecakapan normatif.

Padahal kecakapan operatif justru menjadi generator kemajuan-modernisasi yang punya ciri ilmiah, rasional, progresif, dinamis, jauh dari sekerdar rutinitas.

Kecakapan normatif yang saya maksud adalah mampu mengartikulasikan apa yang seharusnya terjadi atau idealisasi dari sebuah situasi atau kondisi.

Mirip dengan banyak pemimpin politik di daerah yang banyak bicara soal smart city di daerahnya masing masing ataupun strategi mengatasi banjir dan kemiskinan, lengkap dengan uraian yang berbunga-bunga (sedikit ngecap tentu saja) dan dukungan data yang mutakhir, hasilnya sejauh ini nol jika tidak nol besar.

Kenapa terjadi, karena minim kecakapan operatif, yaitu kecakapan mewujudkan apa yang bisa dikerjakan bukan mencari kambing hitam dari setiap masalah yang muncul.

Rata-rata pemimpin daerah jika ditanya mengapa daerahnya dilanda banjir, pasti dijawab dengan “curah hujan yang tinggi”, “banjirnya cepat surut”, atau “cuaca sedang ekstrim”.

Jawaban tersebut sudah pasti ekspresi ketidakmampuan mengatasi masalah, miskin solusi, fakir kecakapan operatif.

Padahal musibah Covid-19 menjadi contoh gamblang dari apa yang disebut dengan hindari menyalahkan pihak lain, ketimbang sibuk membunuh virusnya, lebih jelas hasilnya dengan memperkuat antibody masyarakat dengan vaksin.

Fokusnya pada memperkuat potensi internal, bukan pada daya rusak kekuatan eksternal.

Kita harus berani mengakui, salah satu kekurangan ummat Muslim (dan memang inilah kehebatan warisan kolonial) kita memercayai dan meyakini sepenuhnya akan kemutlakan kebenaran ajaran Allah SWT yaitu Islam.

Tetapi kita tidak banyak sanggup memformulasikannya dalam bahasa-bahasa yang dimengerti umum, dalam ruang dan waktu sekarang ini.

Akibatnya, orang lain banyak tidak mengerti dan tidak tahu apa yang dikehendaki, sehingga jiwa Islamofobia akibat kolonialisme itu membuat mereka, sampai sekarang ini, apriori, tidak mau mengerti ajaran Islam tersebut.

Kebanyakan dari kita masih terlalu banyak berbicara tentang apa yang seharusnya (normatif, ultimate goal) tetapi tidak atau sedikit saja bicara tentang “apa yang dapat dikerjakan” (operatif) dalam ruang dan waktu tertentu, seperti yang kita hadapi sekarang-sekarang ini.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved