Klakson
Klakson Tribun Timur: Proporsional
Di satu kaum, ada yang mewacanakan pentingnya mengubah lagi sistem pemilu kita ditahun 2024 nanti; dari sistem proporsional terbuka, menuju tertutup.
Selain itu, proporsional tertutup akan memfokuskan pengurus parpol untuk mengelola parpol secara intens agar parpol mampu menyiapkan kader terbaiknya untuk dipilih sebagai legislator. Di sini kedaulatan dominan parpol akan mewarnai.
Parpol akan menentukan siapa yang akan duduk di kursi dewan yang terhormat melalui nomor urut. Biasanya, nomor urut 1 yang akan duduk disana.
Konon, sistem ini spiritnya adalah kader parpol harus berkompetisi dengan kompetensi. Disitu ada pemahaman tentang fungsi-fungsi legislator. Sementara proporsional terbuka kecendrungannya adalah berkompetisi untuk populer.
Namun para penganut sistem proporsional terbuka berpendapat bahwa sistem yang selama ini pasca pemilu 2004 lalu sangatlah demokratis. Sebab, rakyat memilih calon wakil rakyat berdasarkan keinginannya. Tak ada istilah nomor urut.
Siapapun yang dominan perolehan suaranya, dialah yang akan duduk di kursi terhormat itu. Sistem ini akan rutin merawat pola relasi antara konstituen dengan legislator. Argumen ini menyebut, sistem proporsional tertutup laksana membeli kucing didalam karung.
Kita tak tahu menahu jenis kucingnya, warna bulunya, hingga segala kondisinya. Dengan itulah, kualitas demokrasi menguap bila sistem proporsional tertutup ditempuh.
Saya terpukau dengan diskursus itu. Tarik menarik keduanya yang seolah-olah berkehendak kuat memperjuangkan rakyat. Wacana politik tampak seperti diskursus akademik.
Manuver-argemen para aktor pun bagai gerakan mahasiswa tanpa lelah. Diluar mereka, penduduk berdesak-desakan antri pencairan dana bantuan sosial. Dan di luar dari itu semua, entah itu proporsional tertutup atau terbuka—disetiap pemilu datang beberapa pertanyaan seringkali mengendap di kepala kita; dengan cara apa caleg-caleg parpol itu meraih suara? Menghambur uangkah? Menebar senyumkah? Mengumbar janjikah? Mengapa rakyat memilihnya? Setelah terpilih apa yang dilakukannya untuk rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan itu ringkas, namun berat diberi jawaban jujur, sebab diluar sana penderitaan rakyat terus berputar dari pemilu ke pemilu. Di situ pemilu tak mengatasi masalah rakyat. Ia hanya mengakhiri kompetisi perebutan kursi yang terhormat itu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.