Klakson
Senior
Di kampung-kampung, suku kata "senior" tak populer sejak zaman Hindia Belanda hingga zaman virus keji seperti saat ini.
Mungkin karena itulah, kata "senior" tak punah-punah. Ia selalu ada dengan guna yang berbeda berdasarkan konteks sosiologis yang ada.
Barangkali faktor sosiologis itupulalah yang menyebabkan mengapa kata "senior" ini panjang nyawa.
Ia tak peduli, entah itu zaman otoriter, entah itu era demokratis, kata "senior" tetaplah hadir.
Ia tak pilih-pilih rezim. Mau rezim alim mau rezim dzolim selalu saja ia hadir.
Tetapi kehadiran "senior" tak ada arti tanpa "yunior".
"Senior" cukup penting bagi "yunior", dan "yunior" cukup berharga bagi sang "senior".
Saling memerlukan, saling membutuhkan. Disitu terasa ada nuansa demokratis. Tetapi pada kenyataannya relasi antara "senior" dan "yunior" tidaklah setara.
Pola relasi keduanya seringkali tak adil, padahal keduanya saling membutuhkan.
Selain tak adil, pola relasi keduanya juga subordinatif-hegemonik-instruktif. "Yunior" tetaplah dibawah, "senior" senantiasa diatas.
Kalangan "senior" begitu gencar mempengaruhi kaum "junior".
Hegemony yang berlaku disini bukan hanya hegemony fisik.
Tetapi juga nalar, mental, hingga gaya argumentasi. Disinilah idelogisasi ditanam, doktrinasi disemaikan--termasuk idelologisasasi-doktrinasi tentang senioritas/seniorisme.
Bila keliru, ini berdampak negatif dan menjadi perangkap buruk bagi "yunior".
Dan saat masuk diperanggkap itu, sungguh rumit untuk terbebas.
Disinilah merebak "yunior" membela "senior" dalam berbagai hal (termasuk hal negatif-irrasional).