Klakson
Senior
Di kampung-kampung, suku kata "senior" tak populer sejak zaman Hindia Belanda hingga zaman virus keji seperti saat ini.
Inilah efek dari hegemony massif tadi. Akal sehat kaum "yunior" tak berfungsi, karena hegemony.
"Senior" adalah kebenaran kendatipun ia salah. "Senior" adalah kebaikan, walau ia sebenarnya keonaran.
Aspek hegemonik itu pulalah yang melahirkan gaya instruktif dalam pola relasi antara "senior"-"yunior". Sang "Senior" memerintah "yunior".
Lalu "yunior" patuh menjalankannya. Perintah yang meluncur dari bibir "senior" seolah dibungkus mantra penjinak hingga "yunior" taat seketika.
"Senior" bukan Tuhan tetapi ia ditaati hingga beberapa garis lapis kebawah.
Kala "senior" memerintahkan ke masjid, "yunior" beranjak kesana.
Bila "senior" menginstruksikan berbuat onar, tanpa fikir panjang "yunior" memeragakannya.
Bahkan panggilan "senior" lebih ditaati dibanding panggilan adzan di masjid yang berkumandang melalui Toa.
"Senior" adalah takdir, "yunior" adalah nasib. Tetapi, "senior-yunior" bagai sebuah kosmos.
"Senior" dilangit, "yunior" di bumi. Untuk kesuburan bumi, langit menjatuhkan hujan.
Maka untuk kesuburan "yunior", "senior" mengarahkannya, membimbingnya, atau membantunya untuk bekerja disebuah instansi atau medan pekerjaan--termasuk kerja-kerja tak terhormat dalam kacamata moral.
"Siaaap, ada perintah senior?".