OPINI
Gatot, Bang Dullah dan RUU HIP
Di Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang jadi kampiun kapitalisme dunia, marxisme malah diajarkan sebagai mata kuliah wajib.
Sebab draft RUU HIP yang dituding sebagai "pintu masuk" untuk melegalkan ajaran komunis, merupakan produk DPR secara kelembagaan. Tidak mungkin lolos kalau pendukungnya minoritas.
Salah satu kelemahan bangsa ini, semua fenomena harus dibaca dari optik politik. Kita tidak punya tradisi berdialektika secara akademik-ilmiah dimana keabsahan pandangan dan gagasan didasarkan pada kekuatan argumentasi yang mendasarinya.
Tidak heran, yang mengemuka adalah spekulasi-spekulasi politik. Lalu fakta dianalisis dengan fakta, di mana ilmiahnya?
Bahkan insting juga dijadikan pisau analisis. Akibatnya, kesimpulannya jadi "liar" kemana-mana.
Ujung-ujungnya, masing-masing pihak unjuk kekuatan untuk mendukung pandangannya. Ini mau dialog atau perang?
Lantas dari mana munculnya keyakinan Bang Dullah kalau saat ini dilakukan voting di parlemen untuk memilih antara dasar negara Islam atau Pancasila, kubu Islam akan menang?
• BREAKING NEWS: Resmob Polda Sulsel Bekuk 1 Pelaku Pencuri Kabel PLN dan 4 Orang Penadah
Lha, anggota parlemennya sudah komunis semua kok. Dari tulisan itu saja sudah terlihat kalau struktur berpikirnya kacau karena ada dua logika yang saling tabrakan di dalamnya.
Sangat disayangkan jika masih ada pikiran yang mendikhotomikan Islam dan Pancasila atau malah memosisikan keduanya pada aras sejajar dalam kontestasi ideologi tanah air.
Padahal Islam sebagai agama, posisinya berada di atas ideologi manapun yang berfungsi sebagai sumber nilai dan etik sosial bagi upaya substansiasi ideologi termasuk Pancasila sebagai asas bernegara.
Akibatnya cara pandang splite demikian, muncul pandangan mengidentikkan sila Ketuhanan yang maha esa dengan kalimat la ilaha illallah, yang mengemuka dalam forum ILC barusan.
Sejak kapan sila ketuhanan bermuatan nilai-nilai tauhid yang transenden?
Padahal sila ketuhanan itu hanya satu poin dari konsensus nasional kita. Akibat tafsir yang kacau itu, lalu muncul kesulitan dalam penerapannya.
Bagaimana dengan warga bangsa yang tidak menganut salah satu agama "resmi" negara seperti para penganut kepercayaan lokal kedaerahan dari suku-suku terpencil yang ratusan jumlahnya dan tersebar di berbagai pelosok nusantara?
Atau orang-orang semacam Rocky Gerung yang disinyalir menganut paham ateis?
Apa mereka harus dipaksa menganut salah satu dari agama negara, dan bila tidak maka hak-hak kewargaannya selaku individu harus ditanggalkan?