OPINI
Gatot, Bang Dullah dan RUU HIP
Di Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang jadi kampiun kapitalisme dunia, marxisme malah diajarkan sebagai mata kuliah wajib.
Bukankah jika hal itu dilakukan, justru bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan itu sendiri yang mengharuskan kita untuk menghormati hak hidup setiap orang, terlepas dari apa pun keyakinannya?
Hemat saya, jika sila ketuhanan yang maha esa harus ditafsirkan sebagai kewajiban bagi setiap warga negara untuk menganut agama yang diakui negara, maka Pancasila sudah menjelma menjadi ideologi fasis, karena berpretensi mengatur hal yang paling privat dari seorang individu: keyakinan.
Terlepas dari kontrovesi RUU HIP saat ini, munculnya pikiran yang mengkaitkan RUU HIP dengan kebangkitan PKI adalah ilusi yang tidak punya basis teoretis dan empiris sama sekali.
Ketakutan itu muncul akibat gencarnya isu 'hantu' PKI di sosial media akhir-akhir ini seiring momentum politik tanah air.
Di seluruh dunia komunisme sudah lama bangkrut.
Di Sovyet sejak 1991 bersamaan dengan glasnot dan prestroika yang di usung Gorbachev yang juga menandai runtuhnya Pakta Warsawa sebagai simbol agung kedigdayaan komunisme dunia.
Di Cina bahkan sudah lebih dahulu, meski berlangsung gradual. Rekayasa sosial budaya yang di usung Mao Ze Dong, tutup buka bersamaan dengan meninggalnya pemimpin besar revolusi negeri Tirai Bambu itu.
Negara terakhir yang disebut komunis adalah Korea Utara pasca Kuba merubah haluan ekonominya beberapa tahun silam.
Padahal di Korea Utara sendiri term-term komunis sudah sekian tahun dihapus dari konstitusinya.
• Prof Rudi: ASN Tidak Netral Langsung Dievaluasi
Secara teoretis tidak mungkin ada satu dua negara komunis yang bisa bertahan hidup jika negara-negara di sekitarnya atau seluruh dunia menganut paham kapitalis.
Adapun keruntuhan komunis terjadi secara alamiah karena mengalami pembusukan sosiologis dari dalam.
Ini terjadi karena asumsi-asumsi dasar yang membangun ideologi komunisme terbukti bertentangan dengan fitrah manusia sehingga cepat atau lambat pasti ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri.
Kondisi transformasi global saat ini, ditandai dengan pergeseran pola-pola produksi dan distribusi barang, jasa, modal dan tenaga kerja yang tidak lagi tersentralisir pada satu pusat metropolis.
Begitu pun kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang menandai era modern saat ini, telah mengubah defenisi tentang ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural.
Dikhotomi Barat dan Timur, kapitalis atau komunis tidak lagi dianggap sebagai sumber identitas tunggal dan utuh, secara politik atau kultural, individu atau kolektif dengan esensi dan hirarki yang permanen.
Kita saja yang belum melek, tidak sadar bahwa dunia sudah berubah 180 derajat dari asumsi-asumsi yang memframing pikiran kita.
RUU HIP memang harus dibatalkan, karena ditinjau dari aspek manapun, tidak cukup logis dan tidak ada urgensinya.
Bahkan lucu, Pancasila yang dalam jargon dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum, eksistensinya diatur oleh produk hukum yang secara hirarkis dua tingkat di bawahnya.
• 3 Besar Peserta Lelang JPT Pratama untuk 7 OPD Pemprov Sulsel
Tidak sampai di situ saja, keberadaan BPIP juga harus ditinjau ulang. Saat pertama dibentuk, saya menunggu-nunggu bagaimana Yudi Latief mendefenisikan BPIP itu jenis 'binatang' apa.
Apa ingin mendaur ulang pola-pola indoktrinasi ala BP7, seperti samar-samar tercantum dalam draft RUU HIP saat ini?
Kalau memang demikian faktanya, bubarkan saja. Sebab keberadaan BPIP justru akan menggiring bangsa ini menjadi totaliter yang potensial melahirkan rezim-rezim represif baru.
Tetapi keliru pandangan yang menyatakan tidak diperlukan lagi rumusan yang lebih rinci dan implementatif dari Pancasila sebagai panduan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alasan mereka, Pancasila yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa sudah mencukupi seperti tampak dan dipraktekkan selama 75 tahun Indonesia merdeka, sehingga tidak diperlukan tambahan pedoman untuk itu.
Jika demikian, pertanyaannya adalah, kenapa selama 75 tahun merdeka, bangsa ini harus melakukan eksperimen sosial berkali-kali. Kita melompat dari satu ruang percobaan ke ruang percobaan berikutnya, dalam ekonomi dan demokrasi.
Setelah itu kita terkaget-kaget sambil bertanya, kok seperti ini hasilnya? Saya pikir pandangan semacam itu lahir dari asumsi-asumsi yang distortif tentang nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sejatinya berisi nilai-nilai utopis yang jadi cita-cita bersama seluruh bangsa, senantiasa harus dibumikan.
• Majdah Lantik Dokter Marhaen sebagai Dekan FIK serta 20 Pejabat Struktural Baru UIM
Upaya untuk itu bisa dilakukan dalam bentuk imperatif hukum formal seperti membuat undang-undang tentang haluan ekonomi nasional, undang-undang tentang politik dan demokrasi, juga dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Memang tidak mungkin untuk merumuskan satu kerangka epistemologi secara deduksi dari nilai-nilai Pancasila yang utopis.
Tapi paling tidak, undang-undang demikian akan menjadi 'pagar-pagar pembatas' agar praktik ekonomi atau demokrasi bangsa, tidak malah melenceng dan makin menjauh dari cita-cita luhur bersama akibat ketiadaan pedoman, seperti tampak saat ini.
Sementara itu, nilai-nilai utopia tetap dibutuhkan sebagai "alat" untuk senantiasa mengkritisi realitas yang terwujud, apakah kita semakin dekat dengan apa yang dicita-citakan, atau malah semakin menjauh. Saya kira begitu. (*)