Opini
Mamdani dan Budaya Politik di Indonesia
Kemenangan ini membetot perhatian publik, baik di Amerika maupun masyarakat global, sampai ke pelosok Indonesia.
Dalam kasus Mamdani ini, keterlibatan ragam komunitas akar rumput seperti imigran sampai generasi muda dalam pemenangannya, yang sejurus dengan gagasan-gagasannya yang berhasil meraih dukungan dari pemilih setempat, adalah jejak penanda bahwa budaya politik yang partisipatif, mengalir di sana.
Pada konteks yang sama, masyarakat yang memilih Mamdani dapat diindikasikan sebagai pemilih yang mafhum politik, dengan memberikan haknya suaranya pada kandidat dengan mengenakan cara yang evaluatif, sembari mengenyampingkan latar belakang agama dan etnis.
Budaya Politik Indonesia
Quid pro quo, sesuatu untuk sesuatu. Demikian istilah buruk yang diberikan Aspinall dan Berenschot saat memotret pemilu 2014 di Indonesia, yang mereka tulis dalam buku Democracy for Sale.
“Bantuan” dari politikus seperti amplop uang atau jika bukan, maka dalam bentuk barang-barang, dibagikan ke pemilih untuk ditukarkan dengan suara saat pemilu tiba.
Apabila diamati lewat teropong budaya politik, maka hal ini adalah turunan dari model parokial.
Warga kekurangan pengetahuan warga soal terminologi politik yang sebagai mestinya, dimana politiklah yang bekerja dalam menentukan semua kepentingan masyarakat banyak.
Sebagian dari kita mungkin kurang paham, bahwa politik beroperasi dalam keseharian baik di media sosial ataupun dunia nyata—sampai ke dapur hingga tempat tidur.
Imbasnya, yang membuat sebagian dari pemilih—untuk tidak menyebutnya sebagai mayoritas, menormalisasi praktik klientalisme-politik semacam itu.
Hal tersebut tentu memiliki efek domino terhadap cara kerja pemimpin atau perwakilan yang dipilih; optimal atau tidak, melayani ataupun cenderung apatis. Yang dipilih juga berharap pemakluman, sebab sebelumnya sudah ada pertukaran kepentingan.
Keduanya saling mempengaruhi, sayangnya pada kerangka yang cenderung pragmatis.
Budaya politik di Indonesia umumnya juga berorientasi pada figur, bukan disandarkan semata-mata pada kompetensi ataukah kapasitas. Kita barangkali pernah melihat bagaimana pemilih dimobilisasi pada kandidat tertentu berdasarkan kedekatan etnisitas atau agama.
Kandidatnya pun dipoles sedemikiran rupa sehingga yang menonjol adalah budaya politik afektis atau emosionil, alihalih yang rasionil.
Jika dilakukan komparasi, tentu dengan mudah kita dapat menyimpulkan bahwa Mamdani tidak akan menjadi wali kota, jika warga di New York memilih atas dasar etnisitas ataupun latar belakang agama.
Budaya politik kita yang seperti ini memang tidak tibatiba mucnul begitu saja. Ia adalah produk dari sebagian partai—terlepas dari baik-buruknya, yang menganut sentralisasi, kemudian lemahnya proses kaderisasi yang tercermin kandidat yang dicomot jelang pemilu, termasuk mahalnya biasa pemilu, dan lain-lain, yang berkelindan menyetir budaya politik Indonesia.
Dalam menumbuhkembangkan suasana kebangsaan yang baik, budaya politik yang partisipatif adalah menjadi perihal paling utama.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-17-Zulfiqar-Rapang-Anak-Muda-Ketinggian-Rongkong.jpg)