Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

LSM Melapor, Guru Dipenjara, Presiden Mengampuni

Tulisan Rusdianto Sudirman menyorot polemik dua guru Luwu Utara: legalitas berjalan, keadilan tertinggal…

Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI - Rusdianto Sudirman. Ia mengirim foto pribadi ke tribun timur untuk melengkapi opininya berjudul LSM Melapor, Guru Dipenjara, Presiden Mengampuni. 

Ketika tekanan semacam ini berkembang, pejabat daerah pun sering merasa terpaksa bergerak cepat dengan sanksi keras untuk menunjukkan ketegasan, meski konteks yang lebih luas luput dari pertimbangan.

Maka lahirlah keputusan administratif yang secara hukum benar, tetapi secara moral dipertanyakan.

Yang tampak di permukaan adalah pelanggaran, tetapi yang hilang dari panggung publik adalah niat tulus untuk membangun sekolah.

Di titik inilah langkah Presiden memberi warna berbeda. Rehabilitasi yang beliau isyaratkan tidak hanya soal mengembalikan martabat dua guru, tetapi juga pesan kepada publik bahwa kebijakan negara tidak semestinya tunduk pada tekanan moral palsu dari kelompok pengawas informal (baca: oknum LSM dan Wartawan Gadungan).

Presiden seolah mengingatkan bahwa negara harus membedakan antara kesalahan yang lahir dari niat jahat dan keputusan yang lahir dari situasi serba terbatas. Namun, sebagaimana sifat relasi pusat dan daerah, gerakan politik moral itu hanya akan bermakna apabila diikuti langkah administratif yang konkret pada tingkat birokrasi.

Polemik ini mendesak kita untuk menata ulang tata kelola pendidikan. Kepala sekolah dan guru membutuhkan perlindungan dari tekanan eksternal yang tidak memiliki legitimasi publik.

Pengawasan terhadap sekolah memang penting, tetapi harus berada di tangan lembaga resmi yang bekerja dengan prosedur dan akuntabilitas.

Selama pengawasan dijalankan oleh aktor yang tidak jelas mandatnya, keputusan sekolah akan selalu dianggap mencurigakan.

Padahal pendidikan membutuhkan ruang keberanian dan kreativitas, bukan rasa takut dan ancaman setiap saat.

Ada pelajaran penting dari kisah dua guru ini. Bahwa legalitas tidak boleh berdiri sendiri tanpa keadilan.

Bahwa otonomi daerah harus berjalan seiring dengan empati terhadap pelaksana kebijakan di lapangan.

Dan bahwa pengawasan publik harus diletakkan kembali pada relnya, bukan dijadikan alat intimidasi yang justru merusak sendi pendidikan.

Negara seharusnya dapat memisahkan mana pelanggaran yang patut dihukum, dan mana tindakan yang layak dimaklumi karena diambil demi menyelamatkan sekolah dari stagnasi.

Jika rehabilitasi yang disampaikan Presiden benar diarahkan untuk memulihkan martabat guru sekaligus memperbaiki sistem, maka saat itulah momen yang tepat untuk menata ulang hubungan antara pengawasan, pendidikan, dan rasa keadilan.

Untuk itu, menurut penulis negara perlu merumuskan beberapa langkah perbaikan. Pertama, pemerintah daerah dan pusat harus mengatur ulang akses ke sekolah dan kantor pemerintahan agar tidak semua pihak dapat masuk dan melakukan wawancara atau pemeriksaan tanpa izin resmi.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved