Opini
Ulama yang Digantikan Mesin: Krisis Otoritas dan Nalar Islam di Era AI
Pertanyaan keagamaan yang dulu dijawab dengan musyawarah, renungan, dan keilmuan kini bisa dijawab oleh mesin dalam hitungan detik.
Namun, tugas kita adalah memastikan bahwa kecepatan tidak membunuh kedalaman, dan data tidak menggantikan hikmah.
Fatwa sejatinya bukan produk statistik, tetapi hasil dialog antara teks, konteks, dan nurani. AI dapat membantu menelusuri dalil, tetapi hanya manusia yang mampu menimbang makna.
AI bisa mengutip ulama, tetapi tak bisa menanggung beban moral seorang mujtahid.
Kita boleh menggunakan algoritma, tetapi jangan menjadi algoritmik.
Sebab, ketika umat berhenti berpikir dan hanya menekan tombol, Islam kehilangan satu hal yang menjadikannya besar: nalar.
Penutup
Pertarungan antara ijtihad dan algoritma bukan sekadar perdebatan teknologi, melainkan perjuangan mempertahankan ruh kemanusiaan dalam beragama. Bahwa berpikir adalah ibadah, dan nalar adalah bagian dari iman.
Di masa depan, mungkin akan lahir ribuan aplikasi fatwa, tetapi hanya sedikit manusia yang masih berani berpikir perlahan dengan hati yang berdoa.
Dan mungkin, justru di sanalah letak kemuliaan sejati ijtihad: menjaga nyala akal di tengah dinginnya logika mesin.
| Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan |
|
|---|
| Bagaimana Komunikasi Jadi Senjata |
|
|---|
| Kampus Unggulan Terpusat di Jawa, tapi SDM di Daerah Kaya Nikel dan Gas Tertinggal |
|
|---|
| Ketika Negara Memberi Trauma |
|
|---|
| Siapa Penemu Benua Australia? James Cook atau Pelaut Makassar? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-13-Prof-Hannani-Yunus.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.