Opini
Ulama yang Digantikan Mesin: Krisis Otoritas dan Nalar Islam di Era AI
Pertanyaan keagamaan yang dulu dijawab dengan musyawarah, renungan, dan keilmuan kini bisa dijawab oleh mesin dalam hitungan detik.
Seperti diingatkan Anne D. Trunk, AI mampu memberikan rekomendasi atau jawaban berbasis data.
Namun keputusan moral dan spiritual dalam agama melibatkan dimensi etika, empati, dan konteks budaya yang kompleks hal yang tidak dapat sepenuhnya dipahami atau diinternalisasi oleh algoritma.(Trunk et al., 2020)
Antara Efisiensi dan Empati
Kelemahan mendasar AI terletak pada absennya empati dan kesadaran. Dalam kasus hukum keluarga perceraian, warisan, atau hak asuh anak ulama sering menimbang dengan hati, bukan sekadar teks.
Ia membaca air mata, rasa malu, atau kesedihan—hal-hal yang tak dapat diterjemahkan ke dalam data.
AI mungkin benar secara teknis, tetapi bisa salah secara kemanusiaan.
Misalnya, dalam kasus perceraian karena kekerasan rumah tangga, AI bisa menyarankan “rujuk” karena dalil keutamaan rumah tangga.
Sementara ulama manusia akan mempertimbangkan keselamatan jiwa istri sebagai bagian dari maqasid al-syari‘ah: hifz al-nafs (menjaga nyawa).
Oleh karena itu, “AI harus dilihat sebagai alat bantu bagi ulama, bukan sebagai otoritas hukum itu sendiri. Tanpa bimbingan manusia, sistem AI berisiko menelurkan fatwa yang valid secara teks, tetapi salah secara konteks.
Menjaga Api Nalar
Kita tidak sedang menolak teknologi, melainkan mengingatkan batasnya. Islam tidak anti-modernitas; ia justru pernah memimpin ilmu dan sains karena menjunjung akal. Tetapi akal dalam Islam bukan alat mekanis, melainkan anugerah spiritual.
Sejarah menunjukkan, para ilmuwan Muslim klasik dari Al-Farabi hingga Ibn Rushd menyatukan iman dan rasio.
Mereka tidak membiarkan akal tunduk pada mesin. Karena itu, tantangan kita hari ini bukan bagaimana menciptakan “mufti digital”, melainkan bagaimana memastikan AI tetap menjadi khadim al-‘ilm (pelayan ilmu), bukan hakim al-din (penentu agama).
Dari Data Menuju Hikmah
Gelombang digitalisasi ini tak terelakkan. AI akan terus hadir dalam fatwa, tafsir, dan pendidikan agama.
| Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan |
|
|---|
| Bagaimana Komunikasi Jadi Senjata |
|
|---|
| Kampus Unggulan Terpusat di Jawa, tapi SDM di Daerah Kaya Nikel dan Gas Tertinggal |
|
|---|
| Ketika Negara Memberi Trauma |
|
|---|
| Siapa Penemu Benua Australia? James Cook atau Pelaut Makassar? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-13-Prof-Hannani-Yunus.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.