Opini
Ulama yang Digantikan Mesin: Krisis Otoritas dan Nalar Islam di Era AI
Pertanyaan keagamaan yang dulu dijawab dengan musyawarah, renungan, dan keilmuan kini bisa dijawab oleh mesin dalam hitungan detik.
Secara sosiologis, penerimaan cepat terhadap fatwa AI bisa dijelaskan melalui Teori Difusi Inovasi Everett Rogers: masyarakat cenderung mengadopsi teknologi yang menawarkan relative advantage lebih cepat, lebih mudah, lebih efisien.
Namun, dalam konteks keagamaan, kecepatan sering berbanding terbalik dengan kedalaman.(Dryden-Palmer et al., 2020)
Fenomena ini terlihat dalam riset M. Billah yang menilai model NLP seperti ChatGPT dan Google Bard belum dapat menggantikan mufti manusia.(Billah et al., 2023)
Alasannya sederhana: algoritma tidak memahami maqasid al-syari‘ah, tujuan moral di balik teks hukum.
Umat pun perlahan beralih dari proses mencari kebenaran menuju konsumsi jawaban.
Budaya refleksi digantikan budaya reaksi. Fenomena ini mengarah pada apa yang disebut para psikolog sebagai cognitive offloading kecenderungan otak menyerahkan beban berpikir pada mesin.(Skulmowski, 2023)
Dalam konteks keagamaan, ini adalah brain rot spiritual: hilangnya kemampuan bernalar dan menimbang.
Krisis Otoritas Ulama
Lebih dari sekadar soal kecepatan, fatwa AI mengguncang tatanan otoritas dalam hukum Islam.
Selama berabad-abad, otoritas ulama dibangun di atas sanad keilmuan—rantai ilmu dan moralitas yang menghubungkan generasi ke generasi.
Kini, otoritas itu perlahan bergeser ke layar. KH Cholil Nafis dari MUI menegaskan bahwa “kecerdasan buatan tak bisa menggantikan ulama karena tidak memiliki kesadaran moral.”
Namun, bagi generasi digital, kredibilitas sering diukur dari kecepatan, bukan keilmuan.
Jika dulu umat bertanya pada kiai karena percaya pada kesalehan dan ilmunya, kini umat bertanya pada aplikasi karena percaya pada algoritmanya.
Pertanyaannya: kepada siapa ketaatan diarahkan kepada manusia yang beriman, atau mesin yang efisien?
Lebih jauh, AI belajar dari data daring yang belum tentu sahih. Jika dataset didominasi pandangan konservatif, algoritma akan memperkuat konservatisme; jika didominasi tafsir liberal, ia akan mereplikasi bias yang sama.
| Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan |
|
|---|
| Bagaimana Komunikasi Jadi Senjata |
|
|---|
| Kampus Unggulan Terpusat di Jawa, tapi SDM di Daerah Kaya Nikel dan Gas Tertinggal |
|
|---|
| Ketika Negara Memberi Trauma |
|
|---|
| Siapa Penemu Benua Australia? James Cook atau Pelaut Makassar? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-13-Prof-Hannani-Yunus.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.