Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ngopi Akademik

Belajarlah Sampai Negeri Arab

Dari perspektif Sosiologi prosesi dibalik pakaian ihram dan lantunan doa, tersimpan banyak dinamika sosial.

Editor: Sudirman
Rahmat Muhammad
OPINI - Rahmat Muhammad Dosen Sosiologi Unhas 

Oleh: Rahmat Muhammad 

Dosen Sosiologi Fisip Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Semangat menuntut ilmu tanpa batas sebagaimana ungkapan yang lazim "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" mendorong untuk mengambil ilmu dari mana saja dan dari peradaban manapun jika bermanfaat bagi diri sendiri dan umat, tidak peduli latar belakangnya juga tidak terkecuali sampai ke Jazirah Arab.

Hampir tiap hari silih berganti ummat manusia datang dari penjuru dunia berkumpul di 3 Kota Suci Mekkah, Madinah dan Jeddah dalam rangkaian Ibadah UMROH menyatu dengan kekuatan keimanan penuhi panggilan_Nya.

Sebagian besar masyarakat memahami bahwa UMROH semata perjalanan spiritual menuju Tanah Suci, tempat seorang Muslim menunaikan ibadah dengan khusyuk, meninggalkan rutinitas di daerah asal kecuali berbagi untuk kepentingan dakwah.

Dari perspektif Sosiologi prosesi dibalik pakaian ihram dan lantunan doa, tersimpan banyak dinamika sosial.

Di sana, manusia tak hanya beribadah kepada Allah SWT tetapi juga belajar hidup bersama dalam situasi yang serba terbatas dan penuh ujian sosial sebagaimana kisah heroik yang dialami Rasulullah Muhammad SAW penuh perjuangan hijrah.

Demikian pula Nabi Ibrahim AS dalam situasi yang berbeda ketika ribuan bahkan jutaan jamaah berkumpul dari berbagai negara, bahasa, dan latar belakang sosial.

Tanah Suci menjadi laboratorium sosial tempat interaksi, negosiasi, dan solidaritas yang berlangsung secara intens. 

Bisa kita lihat dalam kelompok kecil jamaah berbaur satu dengan yang lain memiliki beragam karakter dan perilaku, ada yang sabar, egois, ringan tangan membantu, ada selalu cari perhatian dengan berharap pelayanan lebih dari yang lain.

Melihat fenomena ini teringat Tokoh Sosiologi dengan konsep solidaritas dari Émile Durkheim.

Durkheim membedakan dua jenis solidaritas yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

Solidaritas mekanik lahir dari kesamaan-kesamaan yang dimiliki, seperti kesamaan iman, ritual, dan tujuan spiritual jamaah umroh.

Kesamaan ini menciptakan rasa kebersamaan yang kuat, misalnya saat shalat jamaah, melakukan tawaf atau sai bersama, para jamaah akan saling menuntun agar tak terpisah, di situlah solidaritas mekanik bekerja, dimana ada rasa persatuan karena kesamaan nilai dan keyakinan.

Namun di sisi lain, perjalanan ibadah UMROH juga memperlihatkan bentuk solidaritas organik, yaitu kerja sama karena perbedaan peran.

Dalam rombongan, ada yang berperan mengatur jadwal terutama dari pihak travel juga membimbing doa dan mengantar ziarah ke tempat tertentu yang miliki nilai historis.

Masing-masing jamaah menjalankan fungsinya, dan dari situ terbentuk harmoni sosial yang memungkinkan rombongan berjalan tertib meski regulasi pemerintah Indonesia sudah membuka ruang bagi mereka yang rencana UMROH mandiri.

Tanpa kesadaran kolektif seperti ini, perjalanan UMROH bisa berubah menjadi kekacauan kecil akibat ego dan perbedaan kepentingan yang sifatnya mendesak.

Paling menarik perhatian adalah solidaritas jamaah sering diuji justru hal-hal kecil dan sepele seperti ketika antri di ruang makan, di toilet, berebut tempat duduk di bus, atau berbagi ruang sempit di Masjidil Haram saat shalat jamaah. 

Di sinilah nilai kesabaran, empati, dan tenggang rasa menjadi bentuk nyata dari ibadah sosial.

Sebab UMROH bukan hanya menempuh jarak geografis, tetapi juga perjalanan menundukkan ego dan belajar memahami karakter orang lain lintas negara dan benua.

Ketika menjalankan ibadah UMROH kita bisa melihat bagaimana interaksi sosial selama UMROH melahirkan hubungan yang bertahan lama.

Banyak jamaah yang sepulang ke tanah air tetap menjaga silaturahmi, membentuk grup kajian, bahkan mengembangkan kegiatan sosial bersama.

Ini menunjukkan bahwa solidaritas yang terbentuk di Tanah Suci bisa menjadi modal sosial baru dimana mereka bisa memperluas jaringan keagamaan dan kedermawanan di masyarakat.

Meski diakui bahwa solidaritas itu tidak selalu mulus. Perbedaan status sosial masih sering muncul yang justru stratifikasi di antara mereka dari kelas atas, menengah dan kelas bawah terasa.

Latar belakang dan motif jamaah yang datang dari kalangan ekonomi mapan, ada pula yang mengandal hasil tabungan selama bertahun-tahun untuk bisa berangkat.

Dalam kondisi tertentu, jarak sosial ini menimbulkan kesenjangan simbolik, misalnya dalam pilihan hotel, makanan, atau gaya berpakaian. 

Di sini tampak bahwa bahkan dalam ruang ibadah, struktur sosial duniawi tetap membayangi pengalaman religius.

Karena itu, UMROH juga bisa dibaca sebagai proses pembelajaran sosial tentang bagaimana individu menegosiasikan perbedaan ini berdamai dengan keadaan.

Setiap interaksi menjadi cermin dari karakter sosial kita, apakah kita sabar, empatik, atau justru menonjolkan keakuan.

Nilai-nilai moral Islam seperti ukhuwah (persaudaraan), tasamuh (toleransi), dan ta’awun (tolong-menolong) bukan sekadar ajaran verbal, tetapi diuji dalam praktik sehari-hari selama perjalanan.

Di Tanah Suci, semua potensi bernilai ibadah yang diawali niat tulus dan ikhlas berserah diri pada_Nya hadapi setiap ujian dengan kesabaran yang tinggi demi peningkatan keimanan.

Mengingat banyak hal yang surprise kadang tidak sesuai rencana setiap orang bahkan mungkin diluar nalar yang sulit diterima logika sehingga batas antara prosesi ritual dan aksi sosial menjadi sangat tipis. 

Reaksi spontanitas menolong jamaah yang terjatuh, memberi air zam zam bagi yang butuhkan, menuntun lansia menuju pintu keluar, memberi sadaqah dan waqaf.

Semua itu bagian dari kesalehan sosial yang sama mulianya dengan DOA yang dipanjatkan di tempat tempat spesial seperti di depan Ka'bah dan dalam  Raudhah makam Rasulullah bersama sahabat beliau.

UMROH dengan segala dinamikanya mengajarkan bahwa spiritualitas tidak bisa dilepaskan dari kemanusiaan.

Kita tidak hanya datang untuk bertemu sang Pencipta, tetapi juga untuk belajar hidup bersama manusia lainnya yang relatif baru dikenal.

Potensi konflik tetap ada dalam ruang itu namun solidaritas sesama tanpa memandang stratifikasi menjadi jembatan antara iman dan tindakan sosial, ibadah bukan hanya sekadar ritual tetapi pengalaman kolektif yang membentuk kesadaran sosial baru.

Sehingga besar harapan dari prosesi Ibadah UMROH bagi yang telah, sedang dan akan melaksanakan insyaa Allah semakin menguatkan rasa persaudaraan antar ummat  demi tuntutan yang menekankan bahwa seorang penuntut ilmu harus siap berkorban.

Baik secara materi maupun tenaga untuk meraih ilmu yang diinginkan sejauh mungkin di Negeri Arab sekalipun.

Ibadah UMROH ini ibarat masuk pesantren kilat dengan memperbaharui ilmu pengetahuan agama yang mulai tergerus seiring waktu.

Kemampuan untuk berbagi cerita kisah Rasulullah sangat terbatas, yang terbaik jika "mampu" yakin usaha sampai berkat kekuatan DOA berniatlah berangkat UMROH tentu dengan memperhatikan 5 Rukun UMROH secara langsung bisa rasakan pengalaman spritual tentu atas ijin Allah SWT semua dimudahkan untuk mengukuhkan keyakinan, perpaduan ilmu dan amal untuk memantapkan syahadat dihadapan Rasulullah Muhammad SAW, semoga.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved