Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menumbuhkan Rasa Indonesia di Melanesia

Sumpah Pemuda belum sepenuhnya bergema di Papua. Indonesia perlu hadir bukan hanya sebagai kekuasaan.

La Ode Arwah Rahman Laode
PENULIS OPINI - La Ode Arwah Rahman Laode. Ia mengirim foto pribadi untuk melengkapi opini Menumbuhkan Rasa Indonesia di Melanesia di Tribun Timur.  La Ode Arwah Rahman Laode adalah Staf Pengajar Institut Teknologi BJ Habibie 

Alih-alih defensif terhadap narasi negara-negara seperti Vanuatu, Indonesia justru bisa tampil percaya diri sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Diplomasi budaya semacam ini bukan hanya memperkuat posisi Indonesia di kawasan Pasifik, tetapi juga menumbuhkan kebanggaan identitas bagi rakyat Papua sendiri bahwa mereka bukan “orang luar” di dalam Indonesia, tetapi wajah sejati dari Indonesia yang luas dan berwarna.

Persoalan Papua, pada akhirnya, bukan tentang menegakkan kedaulatan dengan kekuatan, melainkan membangun rumah bersama dengan kasih dan kesetaraan.

Negara harus hadir bukan hanya sebagai otoritas, tetapi juga sebagai pengakuan simbolik.

Pendidikan harus mengajarkan bahwa ke-Papua-an adalah bagian dari keindonesiaan, dan media harus memberi ruang yang layak bagi wajah timur negeri ini.

Pemimpin adat, tokoh gereja, dan komunitas lokal perlu dilibatkan sebagai mitra sejajar, bukan sekadar penerima kebijakan.

Ketika Papua merasa menjadi bagian dari narasi nasional, bukan pelengkap di pinggiran, maka rasa kebangsaan itu akan tumbuh dengan sendirinya.

Persatuan sejati tidak lahir dari ketakutan, tetapi dari penerimaan. Papua tidak butuh lebih banyak instruksi, tetapi lebih banyak pelukan.

Sembilan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda mengikrarkan tiga kalimat suci: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.

Namun Sumpah Pemuda bukanlah perjanjian yang selesai di tahun 1928.

Ia adalah proses yang harus terus diperbarui oleh setiap generasi agar semua anak bangsa, dari Sabang hingga Merauke, benar-benar merasa menjadi bagian dari “satu” yang diikrarkan itu.

Di tanah Papua, Sumpah Pemuda menunggu diterjemahkan kembali, bukan dalam bahasa politik, tetapi dalam bahasa kemanusiaan.

Ketika orang Papua bisa berkata dengan bangga, “Saya orang Papua, dan karena itu saya orang Indonesia,” maka di sanalah Sumpah Pemuda menemukan makna sejatinya. Bukan sekadar satu bangsa di atas peta, tetapi satu rasa di dalam jiwa. (*)

 

 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved