Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menumbuhkan Rasa Indonesia di Melanesia

Sumpah Pemuda belum sepenuhnya bergema di Papua. Indonesia perlu hadir bukan hanya sebagai kekuasaan.

La Ode Arwah Rahman Laode
PENULIS OPINI - La Ode Arwah Rahman Laode. Ia mengirim foto pribadi untuk melengkapi opini Menumbuhkan Rasa Indonesia di Melanesia di Tribun Timur.  La Ode Arwah Rahman Laode adalah Staf Pengajar Institut Teknologi BJ Habibie 

Menumbuhkan Rasa Indonesia di Melanesia

Oleh: La Ode Arwah Rahman Laode

Staf Pengajar Institut Teknologi BJ Habibie

TRIBUN-TIMUR.COM - Hari ini kita kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Kita kembali menggaungkan tiga kalimat sakral itu: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia.

Tiga janji yang bukan sekadar slogan persatuan, melainkan pernyataan identitas sebuah negara bangsa, sebuah kesadaran kolektif bahwa kebinekaan tidak harus dihapus demi menjadi satu.

Harus diakui, di tanah paling timur negeri ini (Papua), gema sumpah itu masih terdengar sayup, seolah berhenti di perbatasan rasa.

Papua berdiri di tepi nusa yang sama, tapi dengan hati yang belum sepenuhnya menyatu.

Kalimat “satu bangsa” yang dahulu mengguncang jiwa para pemuda 1928, kini terdengar seperti gema yang kehilangan gaungnya di lembah-lembah Pegunungan Tengah.

Merah Putih memang berkibar di sana, tapi di sebagian dada, warnanya mulai pudar oleh luka, ketidakadilan, dan rasa tak diakui.

Sumpah yang dulu mempersatukan kini terasa timpang, karena di tanah Papua, Indonesia masih sering datang sebagai kekuasaan, bukan sebagai pelukan.

Pendekatan militeristik yang kini dijalankan pemerintah mungkin efektif meredam kekejian kelompok bersenjata dalam jangka pendek.

Namun Papua tidak sedang berperang karena peluru, melainkan karena rasa yang belum disembuhkan.

Operasi keamanan bisa menaklukkan wilayah, tapi tidak selalu bisa menundukkan perasaan.

Masalah Bukan di Senjata, Tapi di Rasa

Masalah Papua sejatinya bukan soal “ingin merdeka” semata, tetapi soal “ingin diakui sebagai bagian dari Indonesia yang sejajar.”

Bagi banyak orang Papua, kehadiran Indonesia sering terasa administratif, bukan emosional.

Jalan raya dibangun, bandara berdiri megah, dana otonomi khusus digelontorkan, semuanya penting, tetapi sering kali hanya menyentuh permukaan, bukan hati.

Yang diinginkan Papua bukan sekadar pembangunan, tetapi pengakuan: bahwa warna kulitnya, bahasa dan adatnya, cara hidup dan nilai-nilainya adalah bagian sah dari wajah Indonesia.

Sudah delapan dekade Indonesia merdeka, namun narasi besar kebangsaan kita masih kerap dikisahkan dari satu poros budaya, wajah barat Nusantara yang berakar pada peradaban Melayu-Austronesia.

Dalam simbol, bahasa, hingga estetika politik, Indonesia sering tampil dengan citra homogen.

Sementara wajah Melanesianya (gelap kulitnya, keriting rambutnya, dan khas nilai komunalnya) jarang muncul sebagai bagian dari cerita nasional.

Padahal di sanalah letak persoalan: ketika bangsa ini tidak mampu memeluk semua wajah dirinya sendiri.

Karena itu, sudah waktunya kita meninjau ulang narasi kebangsaan yang kita warisi.

Indonesia bukan semata bangsa Melayu atau Austronesia, melainkan bangsa Nusantara yang juga berwajah Melanesia.

Mengakui hal ini bukan berarti menyerahkan kedaulatan, tetapi memperluas makna keindonesiaan itu sendiri, membuat Indonesia lebih utuh, lebih lengkap.

Kalimat “Indonesia adalah juga Melanesia” mungkin terdengar sederhana, namun dampaknya bisa sangat besar.

Ia dapat meretakkan sekat psikologis yang selama ini memisahkan rasa “kami” dan “mereka”.

Ia menegaskan bahwa warna kulit gelap, rambut keriting, dan identitas Melanesia bukan di pinggiran bangsa, melainkan di pusatnya.

Dengan kesadaran ini, Papua tidak lagi menjadi wilayah yang harus “diintegrasikan”, tetapi bagian dari makna keindonesiaan itu sendiri.

Dalam konteks geopolitik Pasifik, pengakuan ini juga penting.

Alih-alih defensif terhadap narasi negara-negara seperti Vanuatu, Indonesia justru bisa tampil percaya diri sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Diplomasi budaya semacam ini bukan hanya memperkuat posisi Indonesia di kawasan Pasifik, tetapi juga menumbuhkan kebanggaan identitas bagi rakyat Papua sendiri bahwa mereka bukan “orang luar” di dalam Indonesia, tetapi wajah sejati dari Indonesia yang luas dan berwarna.

Persoalan Papua, pada akhirnya, bukan tentang menegakkan kedaulatan dengan kekuatan, melainkan membangun rumah bersama dengan kasih dan kesetaraan.

Negara harus hadir bukan hanya sebagai otoritas, tetapi juga sebagai pengakuan simbolik.

Pendidikan harus mengajarkan bahwa ke-Papua-an adalah bagian dari keindonesiaan, dan media harus memberi ruang yang layak bagi wajah timur negeri ini.

Pemimpin adat, tokoh gereja, dan komunitas lokal perlu dilibatkan sebagai mitra sejajar, bukan sekadar penerima kebijakan.

Ketika Papua merasa menjadi bagian dari narasi nasional, bukan pelengkap di pinggiran, maka rasa kebangsaan itu akan tumbuh dengan sendirinya.

Persatuan sejati tidak lahir dari ketakutan, tetapi dari penerimaan. Papua tidak butuh lebih banyak instruksi, tetapi lebih banyak pelukan.

Sembilan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda mengikrarkan tiga kalimat suci: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.

Namun Sumpah Pemuda bukanlah perjanjian yang selesai di tahun 1928.

Ia adalah proses yang harus terus diperbarui oleh setiap generasi agar semua anak bangsa, dari Sabang hingga Merauke, benar-benar merasa menjadi bagian dari “satu” yang diikrarkan itu.

Di tanah Papua, Sumpah Pemuda menunggu diterjemahkan kembali, bukan dalam bahasa politik, tetapi dalam bahasa kemanusiaan.

Ketika orang Papua bisa berkata dengan bangga, “Saya orang Papua, dan karena itu saya orang Indonesia,” maka di sanalah Sumpah Pemuda menemukan makna sejatinya. Bukan sekadar satu bangsa di atas peta, tetapi satu rasa di dalam jiwa. (*)

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved