Opini
Bulu Alauna Tempe dan Kitab Kuning: Orkestra Santri dari Danau Tempe untuk Dunia
Hari pembukaan Musabaqah Qiraatul Kutub Internasional di As’adiyah terasa seperti samudera kecil yang bernafas.
Muhamad Majdy Amiruddin
Dosen IAIN Parepare
HARI pembukaan Musabaqah Qiraatul Kutub Internasional di As’adiyah terasa seperti samudera kecil yang bernafas.
Suara biola pertama melengking lirih, seperti riak air yang mulai bergelombang.
Terompet menyusul, meniupkan gema bagai angin pagi yang melintasi rawa dan danau.
Di belakangnya, cello menebalkan nada, menghadirkan kedalaman seperti dasar air yang menyimpan rahasia.
Lalu tiba giliran gendrang Bugis memukul ritme: dumm tak, dumm tak, denyutnya menyatu dengan detak jantung para hadirin.
Kecapi petik menjerit halus, seakan menyulam suara perahu yang didayung perlahan.
Suling bambu melayang di udara, mengikat semua nada menjadi satu jalinan.
Baca juga: Deretan Tokoh Hadir di Pembukaan MQK Nasional dan Internasional Wajo
Di titik itu, harmoni tak lagi bisa dipisahkan: modern dan tradisi, darat dan danau, masa kini dan masa lalu.
Tepuk tangan bergulung seperti ombak, namun di balik gemuruh itu masih terdengar lirih doa yang keluar dari bibir santri.
Dan orkestra itu mengawali segalanya dengan satu lagu: Bulu Alauna Tempe—nyanyian danau yang kini berpadu dengan nada dunia.
Bulu Alauna Tempe bukan hanya nada; ia adalah tafsir rakyat yang mengeja alam dengan bahasa metafora.
Syairnya menuturkan tentang gunung, air, dan para nelayan, menyulam pesan kepemimpinan, kesabaran, dan amanah di antara bait-baitnya.
Ketika dinyanyikan, lagu itu seperti menerjemahkan permukaan danau menjadi huruf-huruf yang bisa dibaca oleh generasi muda.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.