Opini
Anomali Digitalisasi di Tengah Rigiditas Birokrasi
Saya punya pengalaman mengurus Surat Keputusan perpindahan jabatan pelaksana ke jabatan fungsional.
Penulis: M Ridwan Radief
ASN, Analis Kebijakan Ahli Pertama
HARAPAN penyelenggaraan pemerintahan yang lincah, efektif dan efisien pasca penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional tahun 2021 tidak menunjukkan adanya signifikansi tranformasi budaya kerja yang efektif.
Pola hierarkis dan prosedural masih sarat mewarnai perjalanan birokrasi pemerintah khususnya di daerah sampai hari ini.
Diskursus kebijakan penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional saat itu dinilai hanya bermuara di ranah formal namun mengeliminasi substansi yakni internalisasi mindset budaya kerja yang lincah, efektif dan efisien.
Akibatnya, praktik administratif di daerah masih berjenjang.
Meski telah menggunakan media digital, alur komunikasi sangat kusut.
Saya punya pengalaman mengurus Surat Keputusan perpindahan jabatan pelaksana ke jabatan fungsional.
Waktu itu, saya harus menunggu hampir satu minggu hanya untuk disposisi surat permohonan.
Setelah saya telusuri, ternyata surat berpindah dari satu pejabat ke pejabat lainnya.
Padahal, tidak ada hal yang urgen untuk dikaji atau dianalisis dalam permohonan tersebut.
Hanya surat permohonan biasa sebagaimana naskah keumuman.
Sama halnya dengan Surat Izin meneliti. Proses bisnis pelayanan ini tidak mencerminkan pelayanan yang efektif efisien.
Pasalnya, untuk penerbitan surat izin penelitian, peneliti harus berpindah dari satu perangkat daerah di provinsi sampai ke lokus penelitian di daerah.
Meski tidak ada hal yang urgen dalam permohonan penelitian, proses ini terasa sangat melelahkan.
Kasus lain seperti pelayanan administrasi kependudukan, meski telah megadopsi sistem informasi, masih dijumpai banyak calo.
Sungguh ironi, di tengah sesumbar pemerintah terkait pemerintahan berbasis digital yang berorientasi kepada “Agile Governance”, aparatur pemerintah justru terjebak pada model birokrasi yang rigid.
Pola komunikasi berbasis hierarki, prosedural, paternalistik, feodalisme, dan sejumlah patologi birokrasi masih berkembang dan terus dipelihara.
Budaya kerja demikian tentu saja bertentangan dengan praktik digitalisasi.
Menurut Indrajit et.al (2005:5), menggunakan komputer atau teknologi informasi semata di dalam proses pemerintahan belum berarti bahwa konsep e-government telah diterapkan, karena belum tentu kehadiran benda tersebut dapat mengubah kinerja pemerintah.
Memfokuskan diri pada teknologi dalam pengembangan e-government sebuah langkah yang keliru.
Perlu dipahami bahwa teknologi hanyalah merupakan instrumen untuk terciptanya sebuah transformasi peran pemerintah, dari yang bersifat birokrasi,
menjadi sebuah lembaga yang berorientasi proses untuk melayani pelanggannya yang dalam hal ini adalah masyarakat, komunitas bisnis (industri) dan para stakeholder lainnya.
Teknologi bukan satu-satunya instrumen. Peran manusia sangat penting di dalam mendesain budaya kerja berbasis teknologi.
Bukan sekadar mengganti proses manual ke proses digital melainkan mengubah cara pandang kita agar proses bisnis dan operasional prosedur memiliki rancang bangun yang lincah, kapabel, efektif efisien.
Namun sangat disayangkan, pemerintah gagal menerjemahkan masalah budaya kerja birokrasi ke dalam kebijakan penyetaraan.
Akhirnya, upaya digitalisasi terlecehkan oleh budaya kerja yang kaku.
Perubahan Mindset
Menurut penelitian komprehensif yang dilakukan oleh Mergel dkk., (2019) digitalisasi layanan publik bukan sekadar perpindahan teknologi, melainkan perubahan mendasar pada paradigma tata kelola pemerintahan.
Kompleksitas implementasi AI mencakup aspek teknologi, sumber daya manusia, kebijakan, dan etika yang saling berkelindan, membentuk ekosistem transformasi digital yang rumit.
Tantangan utama terletak pada kemampuan institusi pemerintah untuk merancang strategi terintegrasi yang mampu mengakomodasi perubahan teknologis sambil mempertahankan prinsip-prinsip dasar pelayanan publik seperti akuntabilitas, transparansi, dan keadilan social (Janowski dkk., 2018; World Bank Digital Governance Report, 2021).
Perubahan paradigma tata kelola pemerintahan tidak hanya pada pemanfaatan sistem informasi, lebih dari itu, perubahan paradigma berkaitan dengan mindset aparatur.
Dibutuhkan sebuah kebijakan yang dapat menyentuh budaya kerja.
Pertama, pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintah terkait penyusunan proses bisnis dan operasional prosedur melalui pendekatan partisipatif dan problem solving.
Masyarakat berhak menentukan arah kebijakan pelayanan dan pemerintah perlu mendengar apa saja kebutuhan masyarakat dan masalah yang dihadapi dalam implementasi sistem digital.
Harapannya, alur birokasi lebih ringkas dan mudah diakses.
Kedua, perluasan kewenangan dalam pengambilan keputusan. Kebijakan perluasan kewenangan dimaksudkan untuk memutus dominasi atasan dalam pengambilan keputusan.
Artinya, untuk hal- hal yang tidak prinsip, keputusan dapat diambil oleh aparatur tingkat bawah.
Tujuannya agar eksekusi pelayanan lebih cepat.
Kebijakan ini juga sekaligus memutus praktik paternalistik di birokrasi.
Keempat, melakukan evaluasi secara berkala atas pelaksanaan e-government.
Hasil evaluasi nantinya menjadi bahan untuk perbaikan kebijakan. (*)
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.