Opini
Balada Oemar Bakri: Menjadi Kaya tapi tak tersesat Logika Pasar
Oemar Bakri bukan sekadar nama dalam lagu lama. Ia adalah wajah ribuan guru kita.
Adam Smith juga benar: perdagangan adalah basis kekayaan materi bangsa. Benjamin Graham mengingatkan: uang adalah bahasa sosial, penentu status.
Tetapi Morgan Housel menegaskan: kaya materi belum tentu kaya makna. Maka kontras “pedagang” dan “guru” dalam ucapan Gurutta menemukan tempatnya. Pedagang kaya harta, Oemar Bakri kaya kebebasan.
Ironinya, dunia hari ini menjebak Oemar Bakri terseret logika pasar. Guru seperti tak dipandang sebagai penuntun jiwa, melainkan penyedia jasa.
Ia acap kali diperlakukan seperti buruh kontrak, jasanya sering hanya ditakar rupiah, keberadaannya dihitung dengan angka jam dan laporan administrasi.
Orang tua merasa telah membeli layanan, murid memperlakukan guru bak pelayan. Relasi yang semestinya sakral berubah transaksional. Martabat yang dulu menjulang runtuh pelan-pelan, seperti prasasti yang dikikis tangan-tangan tamak.
Logika pasar menyederhanakan segalanya menjadi harga, padahal hidup tak pernah sesederhana itu. Ia menjadikan guru sekadar komoditas, sejajar dengan barang dagangan di etalase.
Di tangan logika ini, Oemar Bakri bukan lagi penjaga peradaban, melainkan “tenaga kerja” yang bisa diganti kapan saja. Inilah jebakan yang paling halus: pasar pura-pura memberi kehormatan dengan angka, tapi justru menelanjangi marwah kesejatiannya.
Tidak ada yang salah jika Oemar Bakri ingin menjadi kaya. Ia sangat pantas atas kesejahteraan, rumah yang layak, dapur yang mengepul, dan masa depan yang terjamin.
Kaya juga bukanlah dosa, melainkan hak dasar yang sepatutnya ia nikmati setelah menyalakan cahaya di banyak kepala.
Tetapi, Oemar Bakri pun tahu: menjadi kaya dan berambisi semata-mata mengejar kaya adalah dua hal yang berbeda.
Menjadi kaya itu lumrah, ambisi membabi buta meruntuhkan bijaksana. Hingga Kekayaan sejati bukan hanya angka di rekening, melainkan kebebasan moral untuk mendidik dengan nurani, menyalakan cahaya, membangun manusia.
Ia adalah pelita yang rela terbakar demi menerangi orang lain, matahari yang terus setia meski tak pernah digaji bumi. Ia seperti air yang mengalir diam-diam ke sawah orang lain, memberi kehidupan tanpa menuntut balas.
Hidupnya sederhana, dompetnya sering tipis, tetapi ia meninggalkan kekayaan yang tak pernah bisa dibeli: amal jariyah yang terus berdenyut, bahkan setelah tubuhnya kembali ke tanah.
Mendengar dengan hati berarti menyelamatkan Oemar Bakri dari jebakan pasar. Agar ia tetap kaya bukan hanya materi, tapi juga kaya makna, kaya kebebasan, kaya jiwa.
Dan di situlah ia menemukan keabadian: bukan hanya pada angka di slip gaji, melainkan pada cahaya yang tetap hidup di mata murid-muridnya.
Sebab logika pasar hanya bisa menghitung harga, tapi tidak pernah sanggup menimbang nilai seorang Oemar Bakri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.