Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Balada Oemar Bakri: Menjadi Kaya tapi tak tersesat Logika Pasar

Oemar Bakri bukan sekadar nama dalam lagu lama. Ia adalah wajah ribuan guru kita. 

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Muhamad Majdy Amiruddin Pengajar di IAIN Parepare, Peneliti di Scholar Guild for Research and Discovery Pengabdi di Pesantren 

Bayangkan Oemar Bakri itu: berangkat pagi dengan rantang nasi dingin, kemeja kusam, lalu pulang sore dengan dompet tetap tipis sementara wakil rakyat dengan fasilitas berlimpah dan pejabat kadang berucap tega: “guru adalah beban negara.” Kata-kata yang merobek hati, sebab Oemar Bakri justru penjaga bangsa.

Di satu sisi, kita ingin membela Oemar Bakri yang lapar. Tetapi bila kita memilih mendengar dengan hati, ucapan itu membuka lorong renungan: apa sebenarnya arti “kaya” dalam hidup ini?

Hari ini, profesi sering diukur dari gaya hidup. Kekaguman pada gaji, mobil, dan simbol status  dipamerkan di media sosial.

Maka guru dianggap “tidak menguntungkan.” Padahal dalam kebijaksanaan lama, guru adalah pemilik kekayaan yang tak terbeli, kekayaan jiwa, kekayaan makna.

Ucapan Gurutta, bila dibaca secara kebahasaan, menyingkap maksud itu. Secara pragmatik, ia adalah tindak tutur ilokusi berupa peringatan: jangan jadikan orientasi finansial tujuan utama guru.

Secara semantik, kata kaya tidak berhenti pada makna “berharta banyak.” Dalam tradisi Islam, ada ghinā’ (kaya materi) dan qanā‘ah (kaya hati, merasa cukup).

Nabi ﷺ bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, melainkan kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.”

Secara retorika, kalimat Gurutta dibangun dengan gaya antitesis “pedagang” versus “guru,” “kaya” versus “niat tulus.” Dalam khazanah retorika Arab, ini disebut al-muqābalah, sebuah cara menajamkan pesan dengan menyandingkan dua hal yang berlawanan. Terdengar keras, tetapi justru agar pesan moral segera masuk ke sanubari.

Hermeneutika bahasa mengingatkan kita: makna tidak berhenti pada teks literal. Wittgenstein menulis, “Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa.” Al-Jurjānī menambahkan, bahasa punya dalālah—konotasi yang lebih luas dari arti leksikal.

Maka, membaca ucapan Gurutta secara literal membuat kita terjebak. Tapi mendengar dengan hati, kita menemukan pesan moral: jangan biarkan Oemar Bakri terseret logika pasar.

Di titik inilah gagasan Morgan Housel dalam The Psychology of Money terasa dekat. Housel menulis bahwa kekayaan sejati bukanlah angka di rekening, melainkan kebebasan.

Banyak orang kaya harta tapi miskin kebebasan, terjebak gaya hidup, utang status, atau rasa takut kehilangan.

Sebaliknya, ada Oemar Bakri yang hidup sederhana tapi “kaya” karena memiliki kebebasan moral: bebas menanamkan ilmu, bebas membentuk peradaban, bebas meninggalkan amal jariyah.b

Housel menulis: “Kekayaan terbesar adalah kemampuan untuk mengendalikan waktu kita sendiri.” Oemar Bakri yang mengajar dengan niat mulia, meski sederhana, justru pemilik kekayaan itu.

Ia bebas menentukan arah nilai, bebas membentuk karakter murid, bebas meninggalkan jejak amal jariyah. Kemerdekaan macam ini tak bisa dibeli dengan harta, tak bisa dijual di bursa.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved