Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Balada Oemar Bakri: Menjadi Kaya tapi tak tersesat Logika Pasar

Oemar Bakri bukan sekadar nama dalam lagu lama. Ia adalah wajah ribuan guru kita. 

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Muhamad Majdy Amiruddin Pengajar di IAIN Parepare, Peneliti di Scholar Guild for Research and Discovery Pengabdi di Pesantren 

Oleh: Muhamad Majdy Amiruddin

Pengajar di IAIN Parepare, Peneliti di Scholar Guild for Research and Discovery Pengabdi di Pesantren

TRIBUN-TIMUR.COM - Oemar Bakri setiap pagi menyusuri jalan berdebu dengan sepeda tua, rantai berderit, pedal longgar, dan angin pagi yang sering lebih dingin dari bekal bungkusan.

Di kelas, ia menulis masa depan dengan kapur yang mengikis jari. Pulang sore, ia menenteng saku tipis dengan hatinya selalu lapang, seakan materi tak mampu merampas kekayaan Jiwa.

Oemar Bakri bukan sekadar nama dalam lagu lama. Ia adalah wajah ribuan guru kita. 

Dulu, Oemar Bakri adalah martabat itu sendiri. Di mata masyarakat, guru berdiri lebih tinggi dari harga pasar. Yang dihitung bukan angka di slip gaji, melainkan bekas cahaya yang ia tinggalkan di mata siswa.

Kini, bayangan  itu seakan direbut. Oemar Bakri seperti ditarik paksa ke dalam logika pasar.

Sekolah berubah jadi perusahaan, murid jadi konsumen, orang tua jadi pelanggan. Guru dipaksa tunduk pada hitungan dingin: berapa jam, berapa rupiah, berapa nilai. Ia bukan lagi pelita, tapi karyawan yang jasanya bisa ditawar.

Padahal, jasa Oemar Bakri tak pernah sekadar dagangan. Ia menyalakan api hidup dalam hidup. Ia menanamkan cahaya pada jiwa.

Ia membentuk manusia yang kelak akan membentuk dunia. Tetapi pasar selalu buta pada yang tak bisa dihitung. Pasar hanya kenal harga, tak pernah paham nilai.

Ucapan Gurutta yang memicu riak itu sesungguhnya sebuah peringatan. Ia bisa jadi ungkapan yang terasa kasar jika hanya tersentuh telinga, menjadi luluh jima digenggam hati, “Kalau mau kaya, jadilah pedagang.

Kalau mau jadi guru, jangan niatnya cari uang,” Sebagian mendengarnya sebagai penghinaan. Riak sosial pun membesar. 

Gurutta lalu meminta maaf, menjelaskan bahwa guru adalah profesi mulia yang pantas dihormati dan sejahtera.

Tetapi api sudah terlanjur membakar meski amarah  tak lahir dari satu kalimat saja. Ia terendap dari kenyataan getir: masih banyak Oemar Bakri yang hidup dengan upah yang tak layak.

Ada guru honorer bergaji lebih rendah dari buruh harian. Ada yang menempuh puluhan kilometer dengan ongkos sendiri.

Bayangkan Oemar Bakri itu: berangkat pagi dengan rantang nasi dingin, kemeja kusam, lalu pulang sore dengan dompet tetap tipis sementara wakil rakyat dengan fasilitas berlimpah dan pejabat kadang berucap tega: “guru adalah beban negara.” Kata-kata yang merobek hati, sebab Oemar Bakri justru penjaga bangsa.

Di satu sisi, kita ingin membela Oemar Bakri yang lapar. Tetapi bila kita memilih mendengar dengan hati, ucapan itu membuka lorong renungan: apa sebenarnya arti “kaya” dalam hidup ini?

Hari ini, profesi sering diukur dari gaya hidup. Kekaguman pada gaji, mobil, dan simbol status  dipamerkan di media sosial.

Maka guru dianggap “tidak menguntungkan.” Padahal dalam kebijaksanaan lama, guru adalah pemilik kekayaan yang tak terbeli, kekayaan jiwa, kekayaan makna.

Ucapan Gurutta, bila dibaca secara kebahasaan, menyingkap maksud itu. Secara pragmatik, ia adalah tindak tutur ilokusi berupa peringatan: jangan jadikan orientasi finansial tujuan utama guru.

Secara semantik, kata kaya tidak berhenti pada makna “berharta banyak.” Dalam tradisi Islam, ada ghinā’ (kaya materi) dan qanā‘ah (kaya hati, merasa cukup).

Nabi ﷺ bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, melainkan kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.”

Secara retorika, kalimat Gurutta dibangun dengan gaya antitesis “pedagang” versus “guru,” “kaya” versus “niat tulus.” Dalam khazanah retorika Arab, ini disebut al-muqābalah, sebuah cara menajamkan pesan dengan menyandingkan dua hal yang berlawanan. Terdengar keras, tetapi justru agar pesan moral segera masuk ke sanubari.

Hermeneutika bahasa mengingatkan kita: makna tidak berhenti pada teks literal. Wittgenstein menulis, “Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa.” Al-Jurjānī menambahkan, bahasa punya dalālah—konotasi yang lebih luas dari arti leksikal.

Maka, membaca ucapan Gurutta secara literal membuat kita terjebak. Tapi mendengar dengan hati, kita menemukan pesan moral: jangan biarkan Oemar Bakri terseret logika pasar.

Di titik inilah gagasan Morgan Housel dalam The Psychology of Money terasa dekat. Housel menulis bahwa kekayaan sejati bukanlah angka di rekening, melainkan kebebasan.

Banyak orang kaya harta tapi miskin kebebasan, terjebak gaya hidup, utang status, atau rasa takut kehilangan.

Sebaliknya, ada Oemar Bakri yang hidup sederhana tapi “kaya” karena memiliki kebebasan moral: bebas menanamkan ilmu, bebas membentuk peradaban, bebas meninggalkan amal jariyah.b

Housel menulis: “Kekayaan terbesar adalah kemampuan untuk mengendalikan waktu kita sendiri.” Oemar Bakri yang mengajar dengan niat mulia, meski sederhana, justru pemilik kekayaan itu.

Ia bebas menentukan arah nilai, bebas membentuk karakter murid, bebas meninggalkan jejak amal jariyah. Kemerdekaan macam ini tak bisa dibeli dengan harta, tak bisa dijual di bursa.

Adam Smith juga benar: perdagangan adalah basis kekayaan materi bangsa. Benjamin Graham mengingatkan: uang adalah bahasa sosial, penentu status.

Tetapi Morgan Housel menegaskan: kaya materi belum tentu kaya makna. Maka kontras “pedagang” dan “guru” dalam ucapan Gurutta menemukan tempatnya. Pedagang kaya harta, Oemar Bakri kaya kebebasan.

Ironinya, dunia hari ini menjebak Oemar Bakri terseret logika pasar. Guru seperti tak dipandang sebagai penuntun jiwa, melainkan penyedia jasa.

Ia acap kali diperlakukan seperti buruh kontrak, jasanya sering hanya ditakar rupiah, keberadaannya dihitung dengan angka jam dan laporan administrasi.

Orang tua merasa telah membeli layanan, murid memperlakukan guru bak pelayan. Relasi yang semestinya sakral berubah transaksional. Martabat yang dulu menjulang runtuh pelan-pelan, seperti prasasti yang dikikis tangan-tangan tamak.

Logika pasar menyederhanakan segalanya menjadi harga, padahal hidup tak pernah sesederhana itu. Ia menjadikan guru sekadar komoditas, sejajar dengan barang dagangan di etalase.

Di tangan logika ini, Oemar Bakri bukan lagi penjaga peradaban, melainkan “tenaga kerja” yang bisa diganti kapan saja. Inilah jebakan yang paling halus: pasar pura-pura memberi kehormatan dengan angka, tapi justru menelanjangi marwah kesejatiannya.

Tidak ada yang salah jika Oemar Bakri ingin menjadi kaya. Ia sangat pantas atas kesejahteraan, rumah yang layak, dapur yang mengepul, dan masa depan yang terjamin.

Kaya juga bukanlah dosa, melainkan hak dasar yang sepatutnya ia nikmati setelah menyalakan cahaya di banyak kepala.

Tetapi, Oemar Bakri pun tahu: menjadi kaya dan berambisi semata-mata mengejar kaya adalah dua hal yang berbeda.

Menjadi kaya itu lumrah, ambisi membabi buta meruntuhkan bijaksana. Hingga Kekayaan sejati bukan hanya angka di rekening, melainkan kebebasan moral untuk mendidik dengan nurani, menyalakan cahaya, membangun manusia.

Ia adalah pelita yang rela terbakar demi menerangi orang lain, matahari yang terus setia meski tak pernah digaji bumi. Ia seperti air yang mengalir diam-diam ke sawah orang lain, memberi kehidupan tanpa menuntut balas.

Hidupnya sederhana, dompetnya sering tipis, tetapi ia meninggalkan kekayaan yang tak pernah bisa dibeli: amal jariyah yang terus berdenyut, bahkan setelah tubuhnya kembali ke tanah.

Mendengar dengan hati berarti menyelamatkan Oemar Bakri dari jebakan pasar. Agar ia tetap kaya bukan hanya materi, tapi juga kaya makna, kaya kebebasan, kaya jiwa.

Dan di situlah ia menemukan keabadian: bukan hanya pada angka di slip gaji, melainkan pada cahaya yang tetap hidup di mata murid-muridnya.

Sebab logika pasar hanya bisa menghitung harga, tapi tidak pernah sanggup menimbang nilai seorang Oemar Bakri.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved