Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Suara Jalanan yang Tak Boleh Diabaikan

Kemarahan publik yang tumpah ke jalan pada akhir Agustus lalu tidak lahir dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang memicu ledakan sosial tersebut.

Editor: Muh. Abdiwan
TRIBUN-TIMUR.COM
Yusran, S.Pd., M.Pd.  Guru Sosiologi SMA Islam Athirah Makassar 

Kedua, reformasi partai politik. Tuntutan agar partai membuka laporan keuangan dan memperkuat oposisi menunjukkan kesadaran masyarakat bahwa demokrasi sehat memerlukan transparansi dan keseimbangan kekuasaan.

Ketiga, reformasi perpajakan. Dengan kondisi ekonomi yang timpang, publik mendesak adanya sistem pajak yang lebih adil, pembatalan rencana pajak memberatkan rakyat, serta distribusi anggaran yang lebih berpihak pada daerah. 

Keempat, penguatan agenda pemberantasan korupsi. RUU Perampasan Aset yang lama mangkrak harus segera disahkan. Tidak ada reformasi demokrasi yang bermakna tanpa langkah serius melawan korupsi.

Kelima, reformasi Polri dan TNI. Polisi harus direformasi agar lebih humanis, sementara TNI harus kembali ke barak tanpa pengecualian. Penegasan batas peran kedua institusi ini merupakan kunci agar Indonesia tidak kembali ke masa kelam otoritarianisme.

Keenam, penguatan lembaga independen seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan Kompolnas. Tanpa pengawas yang kuat, pelanggaran hak sipil akan terus berulang.

Ketujuh, reformasi kebijakan ekonomi. Evaluasi serius terhadap UU Cipta Kerja, proyek strategis nasional, serta kebijakan BUMN adalah langkah krusial agar pembangunan tidak mengorbankan hak buruh, masyarakat adat, dan lingkungan hidup.

Jika pemerintah, DPR, dan partai politik menutup mata terhadap tuntutan ini, maka yang terjadi adalah akumulasi krisis kepercayaan yang lebih dalam.

Pembakaran kantor DPRD Makassar bisa menjadi awal dari eskalasi yang lebih luas jika akar masalah tidak ditangani. Pengabaian aspirasi publik hanya akan memperkuat narasi bahwa negara lebih berpihak pada elite ketimbang rakyat.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengancam stabilitas demokrasi dan bahkan membuka ruang bagi munculnya otoritarianisme baru dengan dalih menjaga ketertiban.

Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar pernyataan normatif dari elite politik, melainkan langkah konkret. Presiden Prabowo perlu menunjukkan komitmen dengan membentuk tim investigasi independen, menarik TNI dari ranah sipil, serta memimpin dialog nasional dengan mahasiswa, serikat buruh, dan masyarakat sipil.

DPR harus menunda kenaikan tunjangan, membuka data anggaran, dan segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Partai politik mesti membuktikan keberpihakannya dengan transparansi keuangan dan penegakan disiplin kader. Sementara Polri dan TNI harus mereformasi diri agar kembali mendapat kepercayaan publik.

Di sisi ekonomi, pemerintah wajib memastikan bahwa kebijakan tidak semakin menekan rakyat kecil. Dialog tripartit dengan buruh, pengusaha, dan pemerintah perlu diperkuat agar kebijakan ketenagakerjaan berpihak pada semua pihak secara adil.

Aksi-aksi protes sepanjang akhir Agustus hingga awal September 2025 adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Tuntutan massa bukan sekadar reaksi spontan, melainkan cerminan kebutuhan mendasar akan keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak rakyat.

Kini bola ada di tangan pemerintah, DPR, partai politik, Polri, dan TNI. Apakah mereka akan merespons dengan langkah reformasi nyata, atau justru mengabaikan hingga gelombang protes semakin membesar?

Sejarah menunjukkan, setiap kali suara rakyat diabaikan, konsekuensinya adalah krisis legitimasi yang sulit dipulihkan. Karena itu, tuntutan jalanan hari ini seharusnya dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk memperbaiki fondasi demokrasi Indonesia.

Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved