Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Suara Jalanan yang Tak Boleh Diabaikan

Kemarahan publik yang tumpah ke jalan pada akhir Agustus lalu tidak lahir dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang memicu ledakan sosial tersebut.

Editor: Muh. Abdiwan
TRIBUN-TIMUR.COM
Yusran, S.Pd., M.Pd.  Guru Sosiologi SMA Islam Athirah Makassar 

Oleh: Yusran, S.Pd., M.Pd.

Wakasek Kesiswaan SMA Islam Athirah 1 Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Sepanjang pekan terakhir, Indonesia kembali diguncang gelombang aksi protes di berbagai kota. Di Makassar, aksi pada Jumat, 29 Agustus 2025, yang awalnya berlangsung sebagai ekspresi aspirasi rakyat, berubah ricuh hingga berujung pada pembakaran kantor DPRD Kota Makassar.

Kejadian ini hanyalah salah satu potret dari gejolak yang lebih luas yakni krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Tuntutan massa yang mengemuka dalam demonstrasi mulai dari penghentian kekerasan aparat, penarikan TNI dari ranah sipil, hingga pembekuan tunjangan DPR sejatinya menggambarkan kedalaman rasa frustrasi publik terhadap ketidakpekaan elite politik dan lemahnya akuntabilitas lembaga negara.

Jika ditelaah secara serius, daftar tuntutan tersebut bukan sekadar daftar keinginan spontan, melainkan sebuah agenda reformasi yang komprehensif, mencakup ranah politik, hukum, ekonomi, hingga hak asasi manusia.

Kemarahan publik yang tumpah ke jalan pada akhir Agustus lalu tidak lahir dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang memicu ledakan sosial tersebut. Pertama, kebijakan kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian berat. Kesenjangan yang mencolok antara fasilitas wakil rakyat dan nasib rakyat yang diwakilinya menimbulkan rasa ketidakadilan yang tajam.

Kedua, penggunaan aparat keamanan dalam merespons aksi protes justru memperdalam luka. Kasus kekerasan yang menimpa Affan Kurniawan dan Umar Amarudin menjadi simbol nyata bagaimana aparat kerap gagal menempatkan diri sebagai pelindung rakyat. Alih-alih menenangkan situasi, tindakan represif justru memperluas eskalasi kemarahan.

Ketiga, lemahnya transparansi dan integritas lembaga legislatif maupun partai politik. Publik melihat DPR lebih sibuk mengurus kenaikan tunjangan ketimbang memperjuangkan RUU strategis seperti RUU Perampasan Aset. Sementara partai politik seringkali terjebak dalam pragmatisme kekuasaan tanpa menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat.

Dalam tenggat satu pekan, hingga 5 September 2025, massa memberikan mandat moral yang jelas kepada Presiden, DPR, partai politik, Polri, TNI, dan kementerian sektor ekonomi. Ada empat isu utama yang patut digarisbawahi.

Pertama, soal pengamanan sipil dan demokrasi. Penarikan TNI dari ranah sipil serta penghentian kriminalisasi demonstran adalah syarat mutlak agar ruang demokrasi tetap hidup. Negara demokratis tidak boleh mengandalkan pendekatan militeristik untuk meredam suara rakyat.

Kedua, soal akuntabilitas DPR. Publik meminta pembekuan kenaikan gaji/tunjangan DPR, transparansi anggaran, serta penegakan etika bagi anggota yang bermasalah. Tuntutan ini jelas lahir dari kejenuhan rakyat melihat DPR kerap berjarak dengan persoalan sehari-hari masyarakat.

Ketiga, soal perilaku partai politik. Masyarakat menuntut agar partai tidak hanya menjadi kendaraan elektoral, tetapi juga menegakkan disiplin internal dengan memberi sanksi pada kader yang tidak etis. Lebih jauh, partai diharapkan membuka ruang dialog dengan mahasiswa dan masyarakat sipil.

Keempat, soal perlindungan ekonomi rakyat. Pemerintah diminta menjamin upah layak, melindungi buruh dari PHK massal, dan membuka dialog serius dengan serikat pekerja. Di tengah krisis ekonomi global, jaminan kesejahteraan pekerja adalah fondasi stabilitas sosial.

Tidak berhenti pada tuntutan jangka pendek, massa juga menyampaikan agenda reformasi dalam tenggat satu tahun hingga 31 Agustus 2026. Agenda ini menyentuh inti persoalan demokrasi Indonesia.

Pertama, reformasi DPR secara besar-besaran. Rakyat menginginkan audit independen, penolakan terhadap mantan koruptor sebagai caleg, serta penghapusan privilese istimewa seperti pensiun seumur hidup. Ini adalah refleksi dari keinginan mendasar untuk memiliki lembaga legislatif yang benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar kelompok elite.

Halaman
12
Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rakyat Terluka

 

Firasat Demokrasi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved