Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mafia Tanah

Guru Besar Unhas Soroti Pasal 32 PP 24 Tahun 1997, Rawan Lindungi Mafia Tanah

Prof Abrar menyebut setiap gerakan kelompok mafia ini telah terstruktur dengan memanfaatkan informasi dari pihak tertentu.

|
Penulis: Faqih Imtiyaaz | Editor: Munawwarah Ahmad
Prof Abrar Saleng
MAFIA TANAH - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Abrar Saleng menyoroti Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997. Aturan ini dinilai bisa melindungi praktik mafia tanah. Dibutuhkan revisi aturan tersebut agar mafia tanah bisa diberantas 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kasus Sengketa Lahan ikut menyeret aset milik Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. 

Sertifikat lahan seluas 16.4 Ha itu sudah dimiliki Hadji Kalla sejak 1993.

Namun oleh pihak GMTD berubah dimenangkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Pakar Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Prof Abrar Saleng menyebut mafia menyorot lahan di Makassar ini sudah terorganisir.

"Ini mafia hukum yang objeknya tanah. Jadi mafia tanah ini terorganisir, karena tidak mungkin itu pemalsuan surat-surat hanya dilakukan oknum khusus, pasti ada kerjasamanya dengan instansi yang berwenang," kata Prof Abrar Saleng saat dihubungi Tribun-Timur.com pada Sabtu (8/11/2025).

Prof Abrar menyebut setiap gerakan kelompok mafia ini telah terstruktur dengan memanfaatkan informasi dari pihak tertentu.

Kelompok mafia tanah ini disebutnya selalu memiliki informasi lengkap terkait kepemilikan tanah yang menjadi targetnya.

Informasi ini disinyalir bersumber dari oknum berwenang terkait.

"Misalkan contoh, di daerah tertentu kita adakan pengadaan tanah, itu baru perencanaan. Tapi orang dalam sudah menginfokan ke mafia tanah itu, akan ada nanti disitu (pembangunan), tahun depan, anggarannya segini. Nah dia sudah mulai pergi cari-cari tanah disana, beli tanah, pengaruhi orang jual tanah," kata Prof Abrar.

"Tidak mungkin mafia tanah dapat informasi kalau bukan dari orang dalam, pasti ada oknum yang memberikan informasi," lanjutnya.

Persoalan mafia tanah ini pun disebutnya begitu kompleks. Melibatkan oknum dari berbagai instansi. 

Lebih jauh, oknum aparat penegak hukum juga disebutnya rentan terlibat kelompok mafia tanah ini.

Sebab ujung dari kasus mafia tanah selalu berkaitan dengan penegak hukum.

Prof Abrar Saleng ikut menyoroti penerapan aturan Pasal 32 PP Nomor 24 tahun 1997.

Aturan ini mengatur keberlakuan sertipikat tanah dan batas waktu pengajuan keberatan.

Pasal 32 ayat (1) mengatur tentang proses pengajuan keberatan terhadap sertifikat tanah. 

Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa sertifikat yang terbit telah berlaku selama 5 tahun, dengan itikad baik, maka sertifikat tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak lain. 

"Wah bahaya itu, Bagaimana kalau  misalnya cara mendapatkan sertifikat ada kepalsuan, ada keterangan palsu tadi dari mafia tanah itu, dari lurah, camat, BPN. Jadi barang-barang yang palsu menjadi benar setelah 5 tahun, itu tidak boleh,"kata Prof Abrar.

Prof Abrar menilai aturan ini perlu direvisi.

Hal berbeda jika aturan ini diterapkan pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Korea Selatan.

Negara-negara maju disebutnya sudah memiliki data akurat terkait kepemilikan tanah.

"Jadi filsafat hukum takan kebenaran tidak akan berubah hanya karena persoalan waktu. Itu filsafatnya," jelas pakar hukum ini.

"Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatakan sertifikat berikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegangnya. Seperti pak JK ada sertifikatnya, tapi apa guna sertifikat kalau tidak dilindungi hukum," sambungnya.

Prof Abrar mengaku terkait hukum kasus mafia tanah bisa di perdata dan berkaitan Tata Usaha Negara.

Jika berkaitan dengan administrasi maka berproses di Tata Usaha Negara. 

"Tapi kalau cara memperolehnya itu di keperdataan,"tegasnya.

Terkait penyerobotan lahan miliknya, Jusuf Kalla menuding ada indikasi praktik mafia tanah di balik langkah hukum GMTD.

Dia menyebut, jika dirinya saja bisa menjadi korban, masyarakat kecil bisa lebih mudah dirampas haknya.

"Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-maini, apalagi yang lain," Ujar JK pada Rabu (5/11/2025).

"Padahal ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini (lokasi) kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang (masuk) Makassar, ujar Kalla yang didampingi Presiden Direktur Kalla Group Solihin Jusuf, jajaran direksi, kerabat, dan tim hukum Abdul Aziz.

Disebut putusan hukum itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum sebagaimana ketentuan Mahkamah Agung (MA).

"Dia bilang eksekusi. Di mana eksekusi? Kalau eksekusi mesti di sini (di lokasi). Syarat eksekusi itu ada namanya constatering, diukur oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mana. Yang tunjuk justru GMTD. Panitera tidak tahu, tidak ada hadir siapa, tidak ada lurah, tidak ada BPN. Itu pasti tidak sah," paparnya.

Constatering itu istilah hukum berupa pencocokan objek eksekusi guna memastikan batas–batas dan luas tanah dan atau bangunan yang hendak dieksekusi .

JK menegaskan MA mewajibkan proses eksekusi dilakukan dengan pengukuran resmi oleh BPN.

Karena itu, dia menyebut langkah GMTD tersebut sebagai bentuk kebohongan dan rekayasa hukum

Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved