Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

DPRD Makassar Dibakar

DPRD Makassar-Sulsel Dibakar, Ketua HMI Sulsel: Mana Aparat?

Asrullah Dimas menyatakan keprihatinan mendalam dan berduka cita atas korban nyawa akibat tragedi demonstrasi di Kota Makassar, Jumat hingga Sabtu.

|
Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM / SITI AMINAH
DPRD MAKASSAR - Suasana kantor DPRD Makassar pasca terbakar. Total kerugian ditaksir mencapai Rp253,4 miliar  

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR-

Makassar, 30 Agustus 2025 — Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi Sulawesi Selatan, Asrullah Dimas menyatakan keprihatinan mendalam dan berduka cita atas korban nyawa akibat tragedi demonstrasi di Kota Makassar pada 29 Agustus 2025 karenakan ketidakpedulian pemerintah dan politisi Kota Makassar.

Aksi yang semula bertujuan menyampaikan aspirasi berujung chaos hingga menyebabkan pembakaran Kantor DPRD Kota Makassar, Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, perusakan Kantor Kejaksaan, serta menelan korban jiwa dan kerugian negara.

Dalam keterangannya, ia menduga keras bahwa aksi tersebut tidak sepenuhnya berasal dari elemen mahasiswa.

“Mahasiswa hadir untuk menyuarakan aspirasi rakyat dengan cara-cara konstitusional. Tetapi kerusuhan yang berujung pembakaran gedung negara jelas bukan karakter gerakan mahasiswa. Namun, Bukan untuk menyudutkan salah satu elemen tertentu yang ikut dalam kerusuhan tersebut” tegas Asrullah Dimas selaku Ketua Umum HMI Badko Sulsel.

Ia juga mempertanyakan kehadiran aparat keamanan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kondusifitas.

“Bagaimana mungkin simbol negara bisa dibakar tanpa pengamanan memadai? Di mana aparat ketika situasi mulai memanas? Sangat disayangkan, dan kami bisa saja berasumsi bahwa adanya pembiaran(cipta kondisi) dari pihak aparat sehingga memberi ruang chaos sampai memakan korban,” ujarnya.

Baca juga: Sejarah Kelam Kantor DPRD, M Roem Minta Pimpinan Turun ke Masyarakat dan Masuk Diskusi di Kampus

Asrullah Dimas, Wabendum PAO Badko HMI Sulselbar
Asrullah Dimas, Ketum Badko HMI Sulsel (tribun.timur.com)

Asrullah Dimas yang akrab disapa Dimas juga menyinggung teori Collective Behavior dari Neil Smelser, yang menjelaskan bahwa perilaku kolektif massa cenderung muncul ketika terdapat ketidakpuasan sosial yang tidak direspon dengan baik oleh institusi. Dalam teori ini, faktor struktural seperti ketidakjelasan komunikasi kebijakan dan ketidakmampuan otoritas mengelola konflik dapat memicu ledakan aksi spontan yang sulit dikendalikan.

“Chaos yang terjadi di Makassar adalah contoh nyata dari teori Smelser. Kebijakan yang diambil tanpa dudukan persoalan yang matang dan tanpa ruang dialog bersama rakyat akan melahirkan ketidakpuasan, yang akhirnya meledak dalam bentuk aksi brutal,” ujarnya.

Lanjutnya Kekacauan ini membutuhkan jawaban dari pemerintah atas menurunnya pendapatan masyarakat dan luapan kejenuhan atas ekonomi yg mencekik.

“Kami menilai insiden ini salah satunya bersumber pada para tokoh politik khususnya di Sulawesi Selatan yang tidak pernah lagi turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Menjadi tanda tanya besar terhadap para tokoh politik khususnya ketum-ketum partai politik yang menikmati uang rakyat, dikemanakan uang rakyat tersebut? Kenapa ekonomi rakyat semakin hari semakin mencekik?” Pungkasnya

Dalam konteks kearifan lokal Sulawesi Selatan, ia menyinggung pentingnya tudang sipulung, tradisi musyawarah Bugis-Makassar yang mengedepankan dialog dan mufakat.

“Kalau pemerintah mau membuka ruang tudang sipulung, maka kebijakan apapun bisa dimusyawarahkan dengan rakyat. Sayangnya, tudang sipulung diabaikan, sehingga lahir konflik destruktif,” tegasnya.

Ia juga menyoroti aksi demonstrasi masyarakat Kabupaten Bone menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Aksi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat itu justru diwarnai tindakan represif dan kriminalisasi terhadap peserta aksi bahkan jurnalis yang meliput.

Menurutnya, ini menunjukkan pola buruk negara dalam mengelola aspirasi rakyat: menutup ruang komunikasi, lalu membalas dengan kekerasan.

Sebagai bentuk sikap moral organisasi, HMI Badko Sulsel menyampaikan 6 Tuntutan Terbuka :
1. Mendesak pemerintah untuk transparan terhadap pengelolaan uang rakyat, dimana dalam RPJM prop/kota/kab. Unsur publik tidak pernah dipanggil
2. Mendesak pembentukan Tim Pencari Fakta independen yang melibatkan akademisi, aktivis, dan jurnalis, untuk merekomendasikan evaluasi SOP penanganan aksi demonstrasi. Hal ini sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, agar tidak lagi terjadi tindakan represif dan kriminalisasi, seperti yang dialami Affan (driver ojol di Jakarta) dan seorang jurnalis di Bone.
3. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan, karena kelalaian dalam menjaga situasi telah melahirkan tragedi yang seharusnya bisa dihindari
4. Meminta gubernur sulsel Untuk tidak berdiam diri melihat persoalan yang ada. memberikan penjelasan terkait kondisi perekonomian sulsel
5. Menagih konsistensi ketum ketum partai politik di sulsel, akan janji janji kesejahteraan
6. Kapolda , Gubernur , Kajati, dan Ketua DPRD Sulsel untuk memberikan klarifikasi terhadap kejadian ini,

HMI Badko Sulsel menegaskan bahwa mahasiswa tidak boleh dijadikan kambing hitam dalam tragedi ini. Sebaliknya, pemerintah dan aparat harus belajar dari kearifan lokal tudang sipulung untuk membuka ruang dialog dan musyawarah dalam setiap kebijakan, agar konflik sosial tidak lagi berujung pada kekerasan dan korban.

“Tragedi ini adalah alarm keras bagi pemerintah. Jangan lagi ada kebijakan tanpa dialog. Tudang sipulung adalah jalan damai kita. Mari belajar dari darah dan air mata rakyat Makassar,” tutup Asrullah Dimas.(*) 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved