Diskusi Forum Dosen
Guru Besar Hukum Unhas Prof Aswanto Soroti Sejumlah Poin Kontroversial KUHAP Baru
Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Aswanto, menyoroti sejumlah pasal kontroversial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Penulis: Renaldi Cahyadi | Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Aswanto, menyoroti sejumlah pasal kontroversial dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR RI.
Pandangan itu ia sampaikan dalam dialog Forum Dosen di Redaksi Tribun Timur, Jalan Cendrawasih No. 430, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (21/11/2025).
Prof Aswanto menyebut, KUHAP baru memuat banyak perubahan fundamental, terutama terkait pergeseran paradigma penegakan hukum dan potensi penyimpangan pada tahap penyelidikan. Menurutnya, pertanyaan publik yang muncul adalah apakah KUHAP lama dianggap buruk sehingga harus diganti, padahal produk hukum tersebut merupakan karya besar anak bangsa.
Ia kemudian membandingkan sejumlah ketentuan KUHAP lama dengan praktik internasional, seperti Miranda Rule di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Miranda rule adalah serangkaian hak konstitusional tersangka yang diwajibkan untuk diberitahukan oleh polisi saat penangkapan, sebelum interogasi dimulai.
Hak-hak tersebut meliputi hak untuk diam, hak untuk didampingi penasihat hukum, dan hak bahwa apa pun yang dikatakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Di Indonesia, konsep ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca juga: Kritik Tajam Guru Besar Unibos Prof Ruslan: KUHAP Belum Berlaku Sudah Bermasalah
“Dalam Miranda Rule, polisi wajib menyampaikan hak tersangka untuk diam. ‘Anda punya hak diam dan boleh tidak bicara.’ Itu mirip dengan ketentuan KUHAP kita, bahkan tanda baca pada beberapa pasalnya hampir sama,” ujarnya.
Eks Hakim Mahkamah Konstitusi itu menjelaskan, KUHAP baru disusun sebagai pasangan KUHP Nasional yang disahkan melalui UU 1 Tahun 2024.
Revisi ini dilakukan karena KUHP sebelumnya merupakan produk kolonial yang sudah berlaku puluhan tahun.
“KUHAP ini dibentuk karena KUHP sudah berubah. Jadi keduanya memang satu paket,” kata Aswanto.
Ia menyoroti Pasal 2 KUHP baru yang memungkinkan pemidanaan berdasarkan hukum adat, yang menurutnya berpotensi melahirkan dualisme norma: nasional dan lokal.
“Misalnya, dalam hukum adat tertentu, pelaku zina bisa ditenggelamkan hidup-hidup. Atau soal membawa parang panjang—di Sulsel bukan pelanggaran, tapi di Jawa bisa dianggap kejahatan,” ujarnya.
Meski demikian, ia menilai beberapa konsep dalam KUHAP baru cukup progresif, seperti keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitusi.
Ia juga menyebut adanya inovasi plea bargaining atau pengakuan bersalah yang disertai kesepakatan untuk memperoleh keringanan hukuman.
“Jika seseorang mengaku bersalah setelah ada kesepakatan, ia bisa mendapat insentif seperti keringanan hukuman atau tidak ditahan. Ini mirip konsep justice collaborator,” tuturnya.
Universitas Hasanuddin
Aswanto
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
DPR RI
Kota Makassar
Sulawesi Selatan
Eksklusif
Multiangle
| Kritik Tajam Guru Besar Unibos Prof Ruslan: KUHAP Belum Berlaku Sudah Bermasalah |
|
|---|
| Ketok Palu Muncul Polemik, Andi Suruji: Masyarakat Diseret Narasi Tak Jelas Dasar Hukumnya |
|
|---|
| Adi Suryadi Culla Kritik RUU KUHAP, Sejumlah Pasal Tidak Mencerminkan Kepentingan Rakyat |
|
|---|
| Ordal dan Singkatan Opal Prof Muin Gelitik Para Dosen |
|
|---|
| Yeni Rahman Nilai Pemkot Terlalu Jauh Bahas Metaverse, Pembentukan Karakter Anak Harusnya Prioritas |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20251121_PENGESAHAN-KUHAP_pengesahan-KUHAP-2025.jpg)