Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Diskusi Forum Dosen

Kritik Tajam Guru Besar Unibos Prof Ruslan: KUHAP Belum Berlaku Sudah Bermasalah

Sejatinya adalah instrumen verifikasi yang harus kokoh dan mampu menjadi landasan kerja aparat penegak hukum.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM / ERLAN
 DISKUSI FORUM DOSEN- Guru Besar Unibos Prof Ruslan Ranggong dalam dialog forum dosen di Kantor tribun timur, Jl cendrawasih, Makassa, Jumat (21/11/2025). Ia mengkritik RUU KUHAP yang disahkan DPR RI 
Ringkasan Berita:
  • Prof Ruslan Ranggong menilai RUU KUHAP yang baru disahkan justru sarat masalah dan berpotensi menambah keruwetan peradilan pidana. 
  • Banyak celah regulasi yang dikhawatirkan mengganggu pelaksanaan hukum di lapangan.
  • RUU KUHAP memperluas upaya paksa secara berlebihan, termasuk memberi kewenangan lebih besar kepada penyelidik dan penyidik. 
  • Penambahan jenis upaya paksa dinilai membuka peluang penyalahgunaan dengan dalih “demi kepentingan penyelidikan”.
 
 

TRIBUN-TIMUR.COM — Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Prof Ruslan Ranggong, mengkritik banyaknya masalah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

RUU KUHAP disahkan menjadi Undang-Undang, Selasa (18/11/2025).

Prof Ruslan menganggap rancangan aturan belum berlaku tetapi sudah bermasalah.

Celah-celah dalam RUU dianggap dapat menambah keruwetan proses peradilan pidana.

Sejatinya adalah instrumen verifikasi yang harus kokoh dan mampu menjadi landasan kerja aparat penegak hukum.

Regulasi terbaru ini justru dikhawatirkan menambah kerunyaman dalam pelaksanaannya.

Baca juga: Adi Suryadi Culla Kritik RUU KUHAP, Sejumlah Pasal Tidak Mencerminkan Kepentingan Rakyat

Hal itu disampaikan Prof Ruslan Ranggong saat diskusi forum dosen 'Kontroversi KUHAP' di Redaksi Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Jumat (21/11/2025) pukul 16.00 Wita.

“Kita berharap KUHAP ini tidak menambah runyam pelaksanaan dari KUHAP ini,” ujarnya.

RUU sudah disetujui DPR dan hampir menjadi undang-undang.

Sehingga satu-satunya harapan kini berada pada peraturan pemerintah yang akan menjadi aturan pelaksana.

“Kalau kita baca memang banyak masalah di dalam RUU KUHAP, banyak sekali,” tegasnya.

Dalam proses peradilan pidana, inti persoalan selalu berada pada tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ia menilai RUU KUHAP justru memperluas upaya paksa.

Padahal undang-undang sebelumnya hanya lima jenis, kini bertambah jauh lebih banyak.

“Bahkan penyelidik punya upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat," kata dia.

"Jadi banyak sekali itu upaya-upaya paksa sekarang. Dulu paling lima, nah sekarang banyak sekali di bangsa ini,” tambahnya.

Penambahan kewenangan upaya paksa membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan.

Alasan “demi kepentingan penyelidikan dan penyidikan” sering dipakai untuk membenarkannya.

“Nah itu yang perlu memang menjadi perhatian terutama yang akan melaksanakan ini, penyidik ini,” ujarnya.

Prof Ruslan juga membandingkan KUHAP lama dengan rancangan baru dan menemukan bahwa kewenangan penyidik bertambah besar.

Ia mengaku adanya penegasan ulang terhadap kategori penyidik tertentu.

Seperti imigrasi dalam tindak pidana keimigrasian, yang kini harus kembali dikoordinasikan dengan penyidik Polri.

“Ada satu yang mungkin nanti bisa dibahas mengenai kewenangan penyidik tertentu. Di KUHAP itu dikatakan bahwa penyidik Polri, penyidik PNS, kemudian penyidik tertentu. Nah, penyidik tertentu ini masuk seperti imigrasi untuk tindak pidana keimigrasian yang selama ini sudah jalan," ungkapnya.

Ia juga menyoroti aturan mengenai alat bukti, yang dalam KUHAP lama berjumlah lima jenis.

Diantaranya, keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sementara beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP berpotensi menimbulkan persoalan dalam implementasinya.

Prof Ruslan menegaskan, idealnya sebuah undang-undang harus mampu bertahan lama dan tidak perlu sering diuji materiil.

Namun, ia khawatir KUHAP itu yang baru justru akan cepat menjadi target judicial review karena banyaknya celah yang ada.

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved