Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Dipecat

Orangtua Siswa SMAN 1 Luwu Utara Minta Keadilan untuk Dua Guru yang Dipecat karena Dana Komite

Kasus ini bermula dari laporan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuding adanya pungutan liar (pungli) di sekolah.

Penulis: Andi Bunayya Nandini | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM/Andi Bunayya Nandini
PEMECATAN GURU - Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat buntut dana komite sekolah sebesar Rp 20 ribu. 

TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU UTARA - Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Kasus ini bermula dari laporan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuding adanya pungutan liar (pungli) di sekolah.

Tudingan tersebut berawal dari sumbangan orang tua siswa sebesar Rp20 ribu per bulan yang digunakan untuk membantu pembayaran insentif guru honorer.

Akibat laporan itu, mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal, dan bendahara komite, Abdul Muis, ditetapkan sebagai tersangka.

Keduanya telah menjalani hukuman di Rumah Tahanan (Rutan) Masamba dan menerima Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari Gubernur Sulawesi Selatan.

Namun, para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.

Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.

“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018.

Baca juga: Puluhan Tahun Mengabdi, Rasnal Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara Di-PTDH Gegara Uang Rp20 Ribu

Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.

“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.

Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.

“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.

Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.

“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.

Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.

“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.

“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.

Taslim menegaskan iuran tersebut adalah bentuk kepedulian orang tua untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

“Kami menyumbang untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. Kami kecewa, niat kami membantu justru berujung pada jeruji besi dan pemecatan dua guru,” ucapnya.

“Kami juga tidak tega melihat tenaga honorer yang mengajar anak kami dari pagi sampai sore tanpa insentif,” lanjutnya.

Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.

“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.

Mantan Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Luwu Utara, Rasnal, diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) akibat kasus dana komite sekolah.

Rasnal memulai kariernya sebagai tenaga honorer pada 2002.

Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) guru di SMAN 1 Luwu Utara.

Pada 2016, ia dipercaya menjadi Kepala SMAN 18 Luwu Utara, lalu dua tahun berselang kembali ke SMAN 1 Luwu Utara sebagai kepala sekolah.

Namun, setelah puluhan tahun mengabdi di dunia pendidikan, Rasnal menerima Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dari Gubernur Sulawesi Selatan pada 21 Agustus 2025.

Menurut Rasnal, masalah tersebut bermula pada masa jabatannya sebagai kepala SMAN 1 Luwu Utara.

“Saat saya baru menjabat pada Januari 2018, ada beberapa guru honorer yang mengadu karena insentif mereka belum dibayarkan selama sekitar 10 bulan,” kata Rasnal kepada Tribun-Timur.com, Minggu (9/11/2025).

Ia kemudian menanyakan hal tersebut kepada bendahara sekolah.

Dari penjelasan bendahara, insentif untuk sekitar 10 guru honorer belum bisa dibayarkan karena mereka tidak terdaftar di Dapodik (Data Pokok Pendidikan).

Untuk mencari solusi, pihak sekolah menggelar rapat bersama guru dan tenaga kependidikan.

Dalam rapat itu, para honorer menyampaikan keluhan mereka yang tetap bekerja tanpa digaji, sementara biaya transportasi ke sekolah cukup tinggi.

Rasnal bersama wakil kepala sekolah kemudian menemui Ketua Komite Sekolah untuk membahas persoalan tersebut.

Komite pun meminta pihak sekolah mengundang orang tua siswa guna mencari jalan keluar.

“Kami mengundang wali siswa kelas 1 dan 2 pada 19 Februari 2018. Dalam rapat itu dibahas soal guru honorer yang belum digaji,” jelasnya.

Dalam pertemuan tersebut, orang tua siswa menanyakan besaran dana yang dibutuhkan untuk membantu para guru honorer.

Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh angka Rp17.300 per siswa.

“Orang tua siswa bilang, ‘sedikit ji itu, bulatkan saja jadi Rp20 ribu.’ Bahkan mereka sepakat membantu siswa yang kurang mampu agar tidak perlu membayar,” ujarnya.

Sebelum keputusan diambil, Ketua Komite kembali menanyakan keikhlasan para orang tua siswa.

“Waktu itu tidak ada satu pun yang menolak. Ketua komite bilang, kalau ada satu saja yang keberatan, maka keputusan dibatalkan. Tapi semuanya setuju,” tambahnya.

Kesepakatan tersebut berjalan selama tiga tahun.

Orang tua siswa menyumbang Rp20 ribu per bulan, dan menurut Rasnal, dana itu digunakan untuk membayar insentif guru honorer serta mendukung kegiatan sekolah.

Namun pada masa pandemi Covid-19, kebijakan tersebut dipermasalahkan oleh sebuah LSM yang kemudian melaporkannya ke polisi.
Pada Februari 2021, Rasnal diperiksa pihak kepolisian.

Dari empat orang terlapor, hanya dua yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Rasnal selaku kepala sekolah dan Abdul Muis selaku bendahara komite.

Rasnal divonis 1 tahun penjara dengan subsider 2 bulan, dan menjalani hukuman sekitar 8 bulan lebih di Rutan Masamba.

“Saya juga menjalani tahanan kota selama sebulan lebih. Karena tidak punya uang untuk membayar denda, saya jalani subsider,” katanya.

Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMAN 3 Luwu Utara pada 1 September 2024.

Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening.

“Pihak bank mengatakan gaji saya ditahan karena ada nota dinas,” ungkapnya.

Hampir setahun ia tetap mengajar tanpa menerima gaji, hingga akhirnya keluar SK Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dari Gubernur Sulsel.

Kini, Rasnal menggantungkan hidup kepada keluarga karena tidak memiliki penghasilan.

“Saya merasa keputusan ini sangat tidak adil bagi saya,” tuturnya.

Ia menegaskan langkah yang diambilnya semata-mata untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tempat ia memimpin.

“Tidak ada niat sedikit pun untuk mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar para guru honorer yang sudah bekerja keras tetap bisa mendapat hak mereka,” katanya.

Dengan kerendahan hati, Rasnal berharap Gubernur Sulawesi Selatan dapat meninjau kembali keputusan pemberhentian dirinya.

“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” tutupnya. (*)

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved