Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Dipecat

SAKSI KATA: 'Kami Hanya Ingin Bantu Guru Honorer Tapi Akhirnya Di-PTDH' Abdul Muis Minta Keadilan

Abdul Muis, guru SMAN 1 Luwu Utara, harus menerima kenyataan pahit. Diberhentikan tidak dengan hormat Gubernur Sulsel 8 bulan sebelum pensiun.

|
Tribun-Timur.com/Andi Bunayya Nandini
SAKSI KATA – Guru Sosiologi SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis, saat ditemui di Sekretariat PGRI Luwu Utara, Minggu (9/11/2025). Ia kecewa terhadap keputusan Gubernur Sulsel yang memberhentikannya tidak dengan hormat akibat kasus dana komite sekolah. 

Ringkasan Berita:
  • Abdul Muis, guru sosiologi SMAN 1 Luwu Utara, harus menerima kenyataan pahit: diberhentikan tidak dengan hormat oleh Gubernur Sulsel hanya delapan bulan sebelum pensiun. 
  • Setelah 27 tahun mengabdi, ia tersandung kasus dana komite yang berujung pidana. 
  • Kini, Muis memohon keadilan dan berharap keputusan PTDH ditinjau ulang demi martabat guru yang berjuang membantu honorer.

TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU UTARA – Setelah puluhan tahun mengabdi sebagai tenaga pendidik, Abdul Muis, guru mata pelajaran Sosiologi di SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) Gubernur Sulsel.

Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sulsel tertanggal 14 Oktober 2025.

Padahal, sekitar delapan bulan lagi Abdul Muis dijadwalkan memasuki masa pensiun.

Abdul Muis telah menjadi guru sejak 1998 di SMAN 2 Walenrang.

Ia juga pernah mengajar di SMA Baebunta (2000) dan SMA Sukamaju (2002).

Sejak 2009, putra asli Masamba itu mengajar di SMAN 1 Luwu Utara.

Baca juga: PGRI Sulsel Rapat Mendadak Kawal Kasus Pemecatan 2 Guru di Luwu Utara 8 Bulan Jelang Pensiun

Menurut Abdul Muis, permasalahan berujung pada pemecatannya bermula ketika ia ditunjuk sebagai bendahara komite sekolah.

“Saat itu saya dipilih sebagai bendahara komite berdasarkan kesepakatan dalam rapat pengurus komite dan orang tua siswa,” ujarnya kepada Tribun-Timur.com, Minggu (9/11/2025).

Dalam rapat komite, dibahas persoalan guru honorer yang tidak mendapat insentif karena tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga tidak bisa menerima dana BOS.

“Dari rapat itu lahir kesepakatan bahwa orang tua siswa bersedia menyumbang secara sukarela Rp20 ribu per orang tua.

Yang tidak mampu tidak diminta membayar,” jelasnya.

Sebagai bendahara, Muis mengaku tidak menerima insentif, melainkan hanya tunjangan transportasi Rp125 ribu per bulan.

“Saya menerima tunjangan transportasi Rp125 ribu per bulan dan sebagai wakasek Rp200 ribu. Tapi uang itu saya berikan kepada guru honorer yang kadang tidak hadir karena tidak punya uang untuk beli bensin,” ujarnya.

Program sumbangan komite itu berjalan sekitar tiga tahun.

Namun kemudian, seorang pemuda mengaku dari LSM mendatangi rumah Muis.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved