Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

BBM Langka

Curhat Sopir Petepete Gegara BBM Langka: Kurang Dibawa Pulang Karena Beralih ke Pertamax

Pendapatan Supir petepete menurun karena harus mengisi mobil dengan Pertamax

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Muh Hasim Arfah
Muslimin Emba Tribun Timur
PENDAPATAN SUPIR MENURUN-Kloase foto sopir pete-pete, Daeng Tawang (62) dan Anto (40) dan suasana pete-pete mangkal di pertigaan Jl Sultan Alauddin-AP Pettarani, Makassar, Senin (6/10/2025). Pendapatan Supir petepete menurun karena harus mengisi mobil dengan Pertamax. (Dok. Tribun-Timur.com/Muslimin Emba) 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Antrean panjang kendaraan kerap terjadi di sejumlah Sentra Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Makassar, beberapa hari terakhir.

Entah apa penyebabnya, antrean kendaraan kerap mengular hingga ke bahu jalan.

Utamanya, di jalur pompa Pertalite.

Tak jarang, beberapa pengendara terpaksa beralih ke Pertamax demi menghindari antrean panjang.

Tentunya, harus merogoh kocek lebih dalam dengan selisih harga Rp2 ribu lebih.

Seperti yang dirasakan sopir angkot atau pete-pete 07 rute Jl AP Pettarani-Kampus Unhas, Daeng Tawang (62).

"Terkadang saya menunggu itu sampai 20 menit, karena macet mobil susun ke belakang," kata Daeng Tawang ditemui di lokasi mangkalnya di pertigaan Jl AP Pettarani-Jl Sultan Alauddin, Makassar, Senin (6/10/2025) sore.

Baca juga: UMKM Meradang! Biaya Operasional Naik 10 Persen Imbas BBM Langka

Di tengah, sepinya penumpang, ayah enam orang anak ini, mengaku harus mengeluarkan biaya operasional lebih banyak dari biasanya.

Pasalnya, Daeng Tawang terkadang harus beralih ke Pertamax demi menghindari antrean panjang di jalur pengisian pertalite.

Pilihan pahit itu ia ambil demi menjaga kenyamanan penumpang yang jumlahnya kadang tak seberapa.

"Kalau sudah terlalu panjang (antrean di jalur pertalite), biasa disitulah kita berfikir beralih ke Pertamax, apalagi ada mahasiswa sudah mau pulang," ucapnya.

Ia mengaku kerap diprotes penumpang saat lama antre di SPBU pada jalur pengisian pertalite.

Olehnya itu, ia pun harus beralih ke jalur pengisian Pertamax dengan terpaksa.

"Terpaksa kita beli mi Pertamax Rp50 ribu, karena biasa penumpang mengeluh kepanasan menunggu," sebutnya.

Dalam sehari kata Daeng Tawang, ia membutuhkan sedikit 10 liter bahan bakar.

Jika menggunakan pertalite, dirinya harus mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp100 ribu.

Namun, jika menggunakan pertamax dirinya harus mengeluarkan lebih, yaitu sebesar Rp128 ribu dengan asumsi Pertamax seharga Rp12.800 per liter.

"Kalau biasa saya bawa pulang itu Rp150 ribu kotor, karena belum masuk bensin. Kalau bensin Rp100 ribu, berarti sisa Rp50 ribu," ungkap warga Jl Mannuruki ini.

"Jadi kalau beralih ke Pertamax, berarti sisa Rp30an ribu kadang Rp40 ribu," lanjutnya.

Pria yang sudah 35 tahun menjadi sopir angkot ini, pun berharap agar pemerintah mengambil kebijakan solutif.

Ia ingin, antrean panjang di SPBU tidak terjadi lagi.

Hal senada diungkapkan sopir pete-pete 07 lainnya, Anto (40).

Ia mengaku kerap menunggu selama 15 menit demi mengisi bahan bakar pertalite di SPBU.

"Biasa menunggu sampai 15 menit. Dan tentu menyita waktu dan merugikan," kata Anto

Anto mengungkapkan, antrean panjang terjadi sudah sepekan terakhir.

"Hampir di semua SPBU biasa panjang antrean," ucapnya.

Ia kadang harus mengelus dada menghadapi protes penumpang yang menunggu kepanasan dalam angkot.

"Biasa (marah-marah) tapi maumi diapa. Tidak tonji sampai turun (dari angkot), cuman kadang kayak orang menyesal naik angkot," sebutnya.

Menurut Anto, salah satu penyebab panjangnya antrean adanya sistem barcode yang dilakukan di setiap pengisian.

"Kalau saya lihat biasanya gara-gara barcode kah atau bagaimana, itu kadang lambat," tuturnya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved