Opini
Merdeka untuk Siapa? Ironi 80 Tahun Indonesia Berdaulat
80 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat kecil masih terhimpit. Kemerdekaan terasa hanya milik pejabat dan elit, bukan seluruh rakyat.
Penjajah bukan lagi asing dari luar, melainkan dari dalam tubuh bangsa sendiri: para pemimpin yang lupa amanah rakyat. \
Kemerdekaan sejati hadir jika seluruh rakyat merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Peringatan kemerdekaan ke-80 seharusnya menjadi titik balik merebut kembali makna Merdeka.
Bukan sekadar simbol, tetapi kebebasan dari kemiskinan, penindasan, dan kesenjangan sosial.
Rakyat semestinya menjadi pusat kemerdekaan, bukan korban sistem timpang. Jika tidak, seruan "Merdeka!" hanya akan terdengar sebagai gema kosong.
Fakta di lapangan menohok nurani.
Rakyat diperas dengan kenaikan pajak yang bar-bar, kebijakan membebani tanpa belas kasihan, seolah negara menjelma mesin pemeras.
Sementara wakil rakyat bergelimang fasilitas: gaji konon mencapai Rp3 juta per hari atau Rp100 juta per bulan, belum termasuk tunjangan.
Inikah wajah kemerdekaan? Rakyat dicekik, pejabat diperkaya.
Lebih memilukan, rakyat miskin di pelosok negeri menanggung beban pembangunan yang tak pernah mereka rasakan manfaatnya.
Jalan desa rusak, sekolah roboh, puskesmas kekurangan tenaga medis, sementara gedung pemerintahan terus berdiri dengan anggaran fantastis.
Kemerdekaan yang seharusnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan justru berubah menjadi jurang kesenjangan sosial.
Ketika rakyat menjerit karena beban hidup, suara mereka dianggap angin lalu.
Kritik dianggap ancaman, protes dipandang gangguan stabilitas, padahal itu ekspresi kekecewaan atas ketidakadilan.
Negara seolah lupa kedaulatan sejati ada di tangan rakyat, bukan di meja pejabat yang sibuk menambah fasilitas dan privilege.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.