Opini
Merdeka untuk Siapa? Ironi 80 Tahun Indonesia Berdaulat
80 tahun Indonesia merdeka, tapi rakyat kecil masih terhimpit. Kemerdekaan terasa hanya milik pejabat dan elit, bukan seluruh rakyat.
Merdeka untuk Siapa? Ironi 80 Tahun Indonesia Berdaulat
Oleh: H.S. Carsel HR
Dosen S1 dan S2 Kesehatan Universitas Megarezky
TRIBUN-TIMUR.COM - Delapan puluh tahun Republik Indonesia mengibarkan panji kemerdekaan.
Hari ini semestinya menjadi momentum refleksi dan syukur atas darah dan air mata para pahlawan yang rela mengorbankan nyawa demi satu kata suci: Merdeka.
Namun, di balik gegap gempita peringatan kemerdekaan, muncul pertanyaan pedih: apakah rakyat benar-benar menikmati kemerdekaan itu, atau hanya pejabat dan segelintir elit yang merasakan manisnya buah kemerdekaan?
Di sudut desa, masih banyak rakyat kecil berjuang sekadar bertahan hidup.
Harga kebutuhan pokok melambung, tanah semakin sempit, akses pendidikan dan kesehatan belum merata.
Kemerdekaan seharusnya menghadirkan kesejahteraan, tapi justru terasa seperti janji yang tak kunjung ditepati.
Suara rakyat tenggelam oleh hiruk-pikuk kepentingan politik.
Ironisnya, banyak pejabat menjadikan kemerdekaan sebagai panggung kekuasaan, bukan sarana menunaikan amanah rakyat.
Fenomena korupsi, pemerasan, dan penyalahgunaan jabatan menjadi noda hitam yang mencoreng cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah tereduksi menjadi kebebasan segelintir orang memperkaya diri, sementara mayoritas rakyat bergulat dengan penderitaan.
Delapan puluh tahun cukup untuk mengevaluasi arah bangsa.
Jika kemerdekaan hanya dinikmati elit, maka bangsa ini masih dijajah—dengan wujud berbeda.
Baca juga: Merdeka!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.