Opini
Ketika Nasionalisme Direduksi: Dari Bendera Bajak Laut hingga Animasi Rp 6,7 Miliar
Sejak 1945, Republik Indonesia telah melewati berbagai fase: kolonialisme, revolusi fisik, pembangunan ekonomi, otoritarianisme, reformasi
Kita tidak bisa menutup mata: generasi muda Indonesia hari ini tumbuh dalam ruang digital yang transnasional.
Identitas mereka dibentuk oleh interaksi dengan anime, K-pop, Marvel, hingga gim daring.
Di ruang ini, nasionalisme tidak hadir dalam bentuk upacara bendera, tetapi dalam solidaritas komunitas digital, kolaborasi lintas budaya, dan kreativitas ekspresif.
Mengibarkan bendera One Piece atau memprotes kualitas film Merah Putih adalah ekspresi politik kebudayaan generasi ini.
Mereka menolak nasionalisme yang kaku dan menginginkan nasionalisme yang otentik: nasionalisme yang memberi ruang bagi kreativitas, yang menghargai kualitas, dan yang tidak alergi pada globalisasi.
Antonio Gramsci menyebut ini sebagai pertarungan hegemoni kultural: negara berusaha memonopoli makna nasionalisme melalui simbol formal, sementara masyarakat membangun hegemoni alternatif melalui budaya populer. Pertarungan inilah yang kini mengemuka di ruang publik kita.
Refleksi di Usia 80 Tahun Kemerdekaan
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini?
1. Nasionalisme harus organik, bukan artifisial.
Ia tumbuh dari bawah, dari pengalaman sehari-hari masyarakat. Negara hanya bisa memperkuatnya jika mau berdialog dengan budaya populer, bukan menolaknya mentah-mentah.
2. Kualitas adalah bentuk tertinggi nasionalisme.
Jika ingin membanggakan karya animasi, negara harus berinvestasi pada talenta, teknologi, dan kreativitas bukan sekadar anggaran. Kebanggaan lahir ketika karya itu benar-benar mampu bersaing, bukan ketika dipaksa untuk dicintai.
3. Bangsa adalah ruang imajinasi yang dinamis.
Di usia 80 tahun, Indonesia harus menyadari bahwa nasionalisme tidak bisa dibatasi hanya pada simbol resmi. Ia juga hidup dalam fandom global, dalam komunitas digital, dan dalam ekspresi kultural yang beragam.
4. Merah Putih tetap fondasi, tetapi ia harus dirawat melalui keadilan.
Mengibarkan bendera merah putih tidak akan berarti jika rakyat masih merasa dipinggirkan.
Nasionalisme sejati bukanlah soal simbol, melainkan soal kesejahteraan, keadilan, dan ruang kebebasan.
Dari Merah Putih ke One Piece
Di usia 80 tahun kemerdekaan, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi: “Simbol apa yang sah disebut nasionalis?” melainkan: “Apakah kita sudah menghadirkan kehidupan kebangsaan yang memungkinkan semua simbol hidup berdampingan?”
Merah putih adalah dasar, fondasi yang tak tergantikan.
Tetapi jangan heran jika anak-anak bangsa memilih bendera One Piece atau fandom global sebagai ekspresi kebanggaan, bila negara gagal menghadirkan nasionalisme yang bermakna.
Nasionalisme sejati bukan tentang menolak simbol global, melainkan tentang menghadirkan kualitas, keadilan, dan ruang ekspresi yang otentik.
Jika bangsa ini ingin benar-benar merayakan usia 80 tahun kemerdekaannya dengan kedewasaan, maka nasionalisme harus dibebaskan dari sekadar simbol kosong, dan dihidupkan kembali dalam praktik sosial yang nyata.
Hanya dengan begitu, Merah Putih tidak sekadar berkibar di tiang, tetapi juga hidup di hati rakyatnya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.