Opini
Transformasi Bawaslu menjadi Peradilan Khusus Pemilu
Politik uang, yang kerap dibungkus dalam berbagai bentuk pemberian, menjadi racun yang merusak sendi demokrasi.
Penulis berpendapat, Memberikan kewenangan OTT kepada Bawaslu di setiap tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan kecamatan adalah langkah logis jika kita serius memerangi politik uang.
Kewenangan ini tidak berarti menempatkan Bawaslu di atas hukum, tetapi melengkapinya dengan prosedur hukum acara yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan.
Analogi dapat diambil dari KPK, yang mampu memotong jalur birokrasi panjang dengan OTT.
Efektivitas OTT terletak pada kejutan dan kecepatan. Dalam konteks politik uang, OTT memungkinkan Bawaslu menangkap pelaku saat transaksi terjadi, mengamankan bukti, dan mencegah penyebaran uang lebih luas.
Jika kita melakukan study comparasi, ada beberapa negara yang sudah memberikan kewenangan OTT kepada bawaslu misalnya Malaysia ,Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR), Memiliki unit penegakan yang dapat langsung melakukan penangkapan terhadap pelaku pelanggaran pemilu di lapangan.
Filipina ,Commission on Elections (COMELEC) Memiliki kekuasaan quasi-judicial dan unit penegakan hukum yang dapat melakukan operasi penangkapan terhadap pelaku vote-buying.
Dan India , Election Commission of India (ECI), Mempunyai Election Expenditure Monitoring Teams yang dapat melakukan penindakan cepat termasuk penangkapan di tempat.
Komparasi ini menunjukkan bahwa pengawasan pemilu dengan kewenangan penindakan langsung, termasuk OTT, bukan hal baru dan terbukti efektif.
Untuk mewujudkan transformasi ini, penulis merekomendasikan beberapa hal yakni Pertama, dalam pelaksanaan revisi UU Pemilu menambahkan ketentuan bahwa Bawaslu berstatus peradilan khusus pemilu dengan kewenangan adjudikasi dan eksekusi sanksi.
Kedua, Bawaslu punya Kewenangan OTT, yaitu dengan memasukkan pasal yang secara eksplisit memberi Bawaslu kewenangan melakukan OTT terhadap pelanggaran politik uang, dengan dukungan perangkat penegakan hukum yang setara dengan penyidik kepolisian.
Atau bisa mengadopsi penyidik KPK yang di dalamnya terdapat penyidik dan penuntut dari kepolisian dan Kejaksaan.
Ketiga, perlunya Hukum Acara Pemilu. Yaitu dengan penyusunan hukum acara tersendiri yang memungkinkan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara dalam jangka waktu singkat, misalnya 7–14 hari, agar relevan dengan jadwal pemilu.
Selain itu Bawaslu juga dapat diberikan kewenangan melakukan upaya paksa terhadap terlapor atau saksi yang tidak koperatif.
Keempat, pentingnya perlindungan saksi dan pelapor dengan mengadopsi mekanisme perlindungan seperti di LPSK untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam melaporkan politik uang.
Namun tentu saja, gagasan ini tidak lepas dari tantangan. Akan muncul banyak kekhawatiran terjadinya politisasi kewenangan OTT jika tidak diawasi dengan ketat.
Serta risiko benturan dengan aparat penegak hukum lain. Selain itu kebutuhan anggaran dan sumber daya manusia yang signifikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.