Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bebas Tarif untuk AS, Beban Baru untuk Kita?

Banyak yang menyambutnya dengan bangga, menyebut ini sebagai “terobosan diplomasi” atau “kemenangan strategis” di tengah ketidakpastian global.

Editor: Sudirman
Ist
Yulia Yunita Yusuf Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar 

Oleh: Yulia Yunita Yusuf

Dosen Akuntansi Universitas Negeri Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - KESEPAKATAN dagang yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto bersama Donald Trump beberapa waktu lalu, sontak menjadi perbincangan hangat di ruang publik.

Banyak yang menyambutnya dengan bangga, menyebut ini sebagai “terobosan diplomasi” atau “kemenangan strategis” di tengah ketidakpastian global.

Namun sebagai akademisi yang sehari-hari bergelut dengan data dan teori ekonomi, sekaligus pelaku UMKM yang merasakan denyut ekonomi riil, saya justru menyambut kesepakatan ini dengan kegelisahan yang mendalam.

Dalam kesepakatan tersebut, Amerika Serikat memang menurunkan tarif impor atas barang Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.

Namun, sebagai imbal balik, Indonesia justru menyetujui untuk membebaskan tarif atas hampir semua produk AS yang masuk ke pasar domestik.

Tidak hanya itu, Indonesia juga berkomitmen untuk membeli produk pertanian senilai 4,5 miliar dollar AS, barang industri dan energi senilai 15 miliar dollar AS, serta sekitar 50 unit pesawat Boeing—dengan potensi pembelian tambahan hingga 75 unit.

Sekilas ini tampak seperti kerja sama saling menguntungkan. Tetapi bila ditilik lebih jernih, relasi ini jauh dari setara.

Produk Indonesia tetap dikenai bea masuk, sementara produk AS masuk bebas hambatan. Di satu sisi, kita membanggakan penurunan tarif; di sisi lain, kita menyambut barang asing tanpa benteng.

Keseimbangan yang mestinya menjadi prinsip dasar kerja sama justru absen dalam struktur perjanjian ini.

Dampaknya jelas terasa di sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kita: UMKM. Ketika barang-barang Amerika masuk tanpa bea, mereka akan jauh lebih murah di pasar domestik.

Bagi pelaku UMKM seperti saya, yang masih bergulat dengan keterbatasan modal, akses bahan baku, dan ketimpangan teknologi, ini bukan hanya tantangan—tetapi ancaman nyata terhadap kelangsungan usaha.

Bukankah negara seharusnya melindungi yang kecil agar bisa bertumbuh? Dari kacamata akademik, ini bukan hanya soal selisih tarif.

Ini soal bagaimana struktur dagang antarnegara sering kali menjadi instrumen dominasi baru. Kita menyebutnya sebagai diplomasi dagang, tapi apakah ini benar-benar diplomasi, atau justru bentuk lain dari subordinasi ekonomi?

Negara-negara maju, seperti AS, memiliki sejarah panjang dalam membentuk kesepakatan dagang yang menguntungkan kepentingan industrinya.

Ketika sebuah negara berkembang seperti Indonesia diposisikan hanya sebagai pembeli, konsumen, dan pasar, maka kita harus berani bertanya: ini kerja sama atau ketergantungan?

Komitmen pembelian besar-besaran seperti pesawat dan bahan pangan asing juga memunculkan risiko sistemik yang tak bisa diabaikan.

Dalam jangka panjang, ini akan menekan devisa negara, memperbesar defisit transaksi berjalan, dan menghambat tumbuhnya industri substitusi impor dalam negeri.

Lebih ironis lagi, kesepakatan ini terjadi di tengah semangat pemerintah membangun ketahanan pangan dan energi nasional. Maka yang mengemuka adalah paradoks: antara semangat berdikari dan praktik dagang yang justru membuka keran ketergantungan.

Yang menyedihkan adalah diamnya negara terhadap suara-suara dari akar rumput.

Di mana keberpihakan itu saat pelaku usaha lokal harus menghadapi gelombang produk asing tanpa kebijakan protektif?

Di mana keberanian untuk menegosiasikan ulang kesepakatan yang tak berpihak pada kepentingan rakyat banyak? Diplomasi semestinya tidak dibangun dari posisi inferior.

Indonesia punya kekuatan—dari pasar domestik yang besar hingga posisi strategis di rantai pasok global.

Tapi kekuatan itu tak akan berarti bila kita sendiri tidak bersikap tegas dan percaya diri dalam mempertahankan kepentingan nasional.

Saya percaya, kebijakan yang menyangkut hajat hidup banyak orang harus dijalankan dengan transparansi dan keterlibatan publik.

Tidak cukup hanya diumumkan dalam konferensi pers atau unggahan media sosial. Rakyat berhak tahu dan menilai: apakah kebijakan ini memang untuk mereka, atau justru menjauhkan mereka dari kesejahteraan.

Saya bukan anti terhadap kerja sama internasional. Tapi kerja sama yang sehat adalah yang dibangun atas prinsip saling menguatkan, bukan saling menekan.

Jika satu pihak terus mendapat keistimewaan, sementara pihak lain hanya menjadi pasar, maka itu bukan lagi kerja sama—itu penyerahan kedaulatan. Dan kalau hari ini kita diam, besok mungkin sudah terlambat.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved