Opini
Mempertanyakan Leadership Gubernur Sulsel
Dalam konteks Sulsel, berbagai fakta yang mencuat belakangan ini justru menimbulkan pertanyaan besar terhadap kualitas leadership gubernur.
Seorang gubernur seharusnya mampu merumuskan arah kebijakan yang menjawab langsung problem kemiskinan struktural dan bukan hanya mengandalkan proyek-proyek infrastruktur berskala besar tanpa dampak langsung pada rakyat bawah.
Leadership yang kuat ditunjukkan oleh keberanian menata ulang skema anggaran daerah, memprioritaskan sektor riil dan ekonomi kerakyatan, serta memastikan program pengentasan kemiskinan tidak hanya sekadar pencitraan.
2. Mundurnya Lima Pejabat Provinsi, adalah Isyarat adanya ketidaknyamanan yang Sistemik.
Fenomena pengunduran diri lima pejabat penting di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulsel dalam waktu relatif berdekatan juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Dalam teori organisasi, gelombang mundurnya para pejabat menunjukkan indikasi adanya iklim kerja yang tidak sehat, minimnya ruang profesionalisme, atau bahkan tekanan politik internal yang membuat para aparatur kehilangan kenyamanan dalam bekerja.
Jika birokrasi dipenuhi dengan tekanan yang tidak wajar, intervensi berlebihan, atau kepemimpinan yang otoriter, maka profesionalisme ASN akan terganggu.
Pengunduran diri itu merupakan cerminan krisis dalam tata kelola pemerintahan. Seorang gubernur yang baik semestinya membangun kultur organisasi yang sehat, menjamin meritokrasi, dan membuka ruang diskusi kritis dalam pengambilan kebijakan, bukan menciptakan ketakutan atau ketidakpastian di antara aparatnya sendiri.
Menurut Asratillah, Direktur Profetik Institute, di Sulawesi Selatan, komunikasi birokratik cenderung searah, kaku, dan tertutup.
Tak ada ruang yang cukup bagi para pejabat untuk merancang kebijakan secara kolektif, dan lebih buruk lagi, mereka bahkan tidak diberi ruang untuk menyampaikan perbedaan secara terbuka.
Sebagian besar jabatan yang kosong kini diisi oleh pelaksana tugas. Secara hukum, mereka sah, tetapi secara sosiologis mereka lemah.
Mereka bekerja tanpa kekuatan penuh, tanpa legitimasi politik maupun moral yang diperlukan untuk mengambil keputusan strategis.
Situasi ini membuat roda birokrasi berjalan terseok-seok, dengan pengambilan keputusan yang tersentralisasi pada pucuk pimpinan, sementara inisiatif dari bawah justru padam (Rakyat Sulsel.co, 27/7/2025).
3. Hubungan Kurang Harmonis dengan DPRD, sebagai pertanda kegagalan membangun koordinasi politik.
Kepemimpinan daerah tidak bisa berjalan efektif tanpa dukungan dan sinergi dengan DPRD.
Lemahnya hubungan antara gubernur dan para legislator di DPRD Provinsi Sulsel mengindikasikan adanya kegagalan komunikasi politik dan koordinasi pemerintahan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.