Opini
Menata Ulang Tata Kelola Pariwisata Soppeng: Perspektif Sosiologi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Soppeng, yang dikenal sebagai “Bumi Latemmamala”, menyimpan potensi pariwisata yang luar biasa, baik dari sisi alam, sejarah, maupun budaya.
Dr Irwan SPd MPd
Dosen Sosiologi Fisipol, Universitas Sawerigading Makassar
KABUPATEN Soppeng, yang dikenal sebagai “Bumi Latemmamala”, menyimpan potensi pariwisata yang luar biasa, baik dari sisi alam, sejarah, maupun budaya.
Kelelawar yang eksotis di pusat kota Watansoppeng, situs-situs kerajaan, serta destinasi permandian alam seperti Lejja dan Citta merupakan aset unggulan yang memperkaya karakter daerah ini. Sejalan dengan visi pembangunan Sukses Setara (Soppeng Unggul, Kreatif, Sejahtera, dan Setara), pariwisata Soppeng terus bergerak menuju arah yang lebih progresif dan inklusif.
Sebagai akademisi, saya melihat pentingnya memperkuat pendekatan sosiologis dalam tata kelola pariwisata, agar pengembangan sektor ini tidak hanya mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi juga menghadirkan keadilan sosial dan pelibatan masyarakat sebagai pilar utama pembangunan daerah.
Slogan pembangunan yang digaungkan oleh Bupati Soppeng, yakni Sukses Setara (Soppeng Unggul, Kreatif, Sejahtera, dan Setara), merupakan visi yang sangat relevan dengan arah pengembangan pariwisata masa kini.
Semangat membangun pariwisata yang unggul dan kreatif, namun tetap menjunjung kesejahteraan dan kesetaraan, sangat selaras dengan prinsip pariwisata berbasis masyarakat.
Dalam konteks ini, kebijakan dan langkah-langkah strategis yang tengah diupayakan Pemerintah Kabupaten Soppeng menunjukkan arah yang positif, khususnya dalam membangun tata kelola destinasi yang inklusif, berdaya saing, dan memperhatikan nilai-nilai lokal sebagai kekuatan utama.
Dalam perspektif sosiologi, pariwisata bukan semata kegiatan ekonomi, tetapi juga arena sosial tempat berbagai nilai, identitas, dan relasi kuasa saling berinteraksi.
Pengembangan destinasi tanpa mempertimbangkan struktur sosial lokal justru bisa melahirkan ketimpangan baru—antara pusat dan pinggiran, antara investor dan warga lokal. Maka, pendekatan berbasis community-based tourism harus diadopsi sebagai fondasi utama: masyarakat sebagai pelaku utama, bukan sekadar penerima manfaat pasif.
Soppeng memiliki kearifan lokal yang kuat, seperti nilai musyawarah adat (pabbicara), semangat gotong royong, dan relasi sosial yang kohesif.
Sayangnya, modal sosial ini belum banyak diintegrasikan dalam desain kebijakan pariwisata.
Padahal, pendekatan sosiologis menunjukkan bahwa pembangunan yang berakar pada budaya lokal cenderung lebih berkelanjutan, karena mendapat legitimasi sosial dari bawah.
Di sinilah pentingnya membangun narasi wisata yang tidak hanya menjual destinasi, tetapi juga merayakan identitas dan makna hidup masyarakatnya.
Salah satu peluang besar dalam pengembangan pariwisata Soppeng terletak pada generasi muda desa.
Dengan semangat Sukses Setara yang menekankan kreativitas dan kesejahteraan, pemuda desa memiliki potensi luar biasa untuk menjadi motor penggerak pariwisata berbasis lokal.
Pemerintah Kabupaten Soppeng telah membuka ruang kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan kampus dan komunitas, untuk memperkuat literasi pariwisata melalui pelatihan keterampilan, pemanfaatan teknologi digital, serta pengelolaan destinasi yang berbasis potensi lokal.
Langkah ini tidak hanya memperkuat kapasitas generasi muda, tetapi juga mewujudkan cita-cita pariwisata yang unggul, kreatif, dan berkelanjutan.
Salah satu langkah strategis yang patut diapresiasi dalam pengembangan pariwisata di Soppeng adalah terbukanya peluang untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah daerah dan kalangan akademisi.
Dalam semangat Sukses Setara, riset dan kajian ilmiah memiliki peran penting sebagai fondasi perencanaan kebijakan yang berkelanjutan.
Akademisi, khususnya dari bidang sosiologi dan antropologi, dapat memberikan kontribusi signifikan melalui pemetaan sosial-budaya, analisis dampak sosial, serta rekomendasi berbasis data yang kontekstual.
Dengan memperkuat kemitraan ini, kebijakan pariwisata di Soppeng akan semakin tajam secara analitis, relevan dengan kebutuhan lokal, dan selaras dengan nilai-nilai kearifan daerah.
Distribusi manfaat ekonomi pariwisata juga perlu ditata ulang.
Jangan sampai keuntungan pariwisata hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.
Pemerintah daerah bisa menyalurkan insentif dan dukungan promosi bagi pelaku UMKM, petani lokal, dan pengrajin tradisional agar mereka masuk ke dalam rantai pasok pariwisata.
Dengan langkah ini, semangat "setara" dalam slogan Sukses Setara dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Lebih lanjut, Soppeng membutuhkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang berpihak pada dimensi sosial dan budaya, bukan hanya fisik dan ekonomi.
Rencana ini harus disusun dengan melibatkan akademisi, tokoh adat, komunitas budaya, serta kelompok perempuan dan pemuda.
Hanya dengan cara ini, pariwisata Soppeng dapat bergerak dari pembangunan yang eksklusif menuju pembangunan yang kolaboratif dan berkeadilan sosial.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa keberhasilan pariwisata bukan diukur dari jumlah wisatawan semata, tetapi dari sejauh mana masyarakat merasa memiliki, terlibat, dan sejahtera dalam proses pembangunan tersebut.
Slogan Sukses Setara tidak akan bermakna jika pariwisata justru memperlebar ketimpangan.
Sebaliknya, ketika nilai-nilai lokal dikedepankan dan masyarakat menjadi subjek utama, maka Soppeng tidak hanya akan unggul dan kreatif, tetapi juga benar-benar sejahtera dan setara.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.