Lipsus Kekerasan Seksual
Survei Pengakuan Diam di Balik Layar 'Saya Takut Malu Merasa Tidak akan Dipercaya'
Selama delapan hari, sejak 16 hingga 24 Maret 2025, Tribun-Timur.com menggelar survei daring bersifat investigatif.
Penulis: Sukmawati Ibrahim | Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Suara korban kekerasan dan pelecehan seksual di kampus sering kali tak terdengar.
Tapi ketika diberi ruang secara anonim dan aman, suara itu mulai muncul pelan, tapi penuh luka.
Selama delapan hari, sejak 16 hingga 24 Maret 2025, Tribun-Timur.com menggelar survei daring bersifat investigatif.
Sebanyak 52 mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi enam di antaranya di Makassar membuka suara.
Baca juga: Dugaan Pelecehan Dosen ke Mahasiswa, PPKS UNM: Tanpa Laporan, Satgas Tak Bisa Bertindak
Baca juga: BEM FISH UNM Kawal Diduga Korban Pelecehan Seksual AD Lawan Trauma dan Tuntut Keadilan
Mereka berasal dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Makassar, dan satu dari Universitas Indonesia.
Mayoritas responden berusia 18 hingga 23 tahun, berasal dari angkatan 2009 hingga 2024.
Di balik angka dan grafik, tersimpan kisah yang tak bisa dituturkan di ruang terbuka.
Hanya bisa dicurahkan melalui kolom komentar survei secara daring, tanpa nama, tanpa tatap muka.
Hasil survei menunjukkan, 52 persen pelaku kekerasan seksual adalah dosen.
Disusul orang luar kampus (25 persen), teman kampus (13 persen), dan senior (2 persen).
Sisanya melibatkan lebih dari satu pelaku atau tidak dapat diidentifikasi.
Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari komentar dan hinaan bernada seksual, elusan kepala tanpa izin, penguntitan, catcalling, hingga ciuman dan sentuhan paksa di area sensitif.
Baca juga: Ujian Lisan di Atas Kasur Jadi Modus Dosen Diduga Lecehkan Mahasiswa
Beberapa bahkan mengaku pelaku adalah pacar sekaligus dosen.
Namun dari 52 responden, hanya 8 persen yang pernah melapor.
Bahkan dari yang melapor, tak satu pun mengaku mendapat penanganan layak.
Sisanya, 92 persen memilih diam. Alasannya? Tak ada satgas saat kejadian, takut tidak dipercaya, malu, takut dibalikkan sebagai pelaku, atau karena trauma yang belum bisa mereka hadapi.
Di balik layar survei daring itu, salah satu korban dari UNM menulis lirih.
“Saya tidak tahu harus bicara ke siapa. Dosen yang saya hormati justru pelakunya. Saya takut, malu, dan merasa tidak akan dipercaya.”
Lainnya, mahasiswa dari UIN menyampaikan lewat kolom komentar: “Saya pernah coba cerita ke senior, malah dibilang lebay dan disuruh diam.”
Keduanya tidak pernah melapor ke pihak kampus, satgas, atau lembaga manapun.
Mereka memilih diam di dunia nyata, namun memberanikan diri bercerita di ruang daring tidak menuntut nama dan wajah.
Hasil ini menegaskan, kekerasan seksual bukan hanya soal tindakan, tapi soal sistem yang membungkam.
Ketika korban harus membisu karena takut tidak dipercaya, karena pelaku punya kuasa, atau karena kampus tidak memberi perlindungan, maka kekerasan itu terus hidup tanpa sanksi, tanpa perbaikan.
Ada korban bahkan tidak sadar bahwa pengalaman mereka tergolong sebagai kekerasan seksual. Ada pula merasa melapor hanya akan memperpanjang trauma, tanpa jaminan keadilan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.