Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ironi Pancasila

Di tengah warga, gotong royong hadir dalam semangat silih asih (saling mencintai), silih asah (saling mewaraskan), silih asuh (saling membimbing). 

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Aswar Hasan, Dosen Fisipol Unhas 

Demokrasi pun kehilangan daya wakilnya terperangkap dalam mekanisme elektoral yang menjauh dari semangat gotong royong yang positif.

Dalam konteks inilah kita mesti jujur mengakui bahwa Pancasila yang diagungkan sebagai dasar dan ideologi negara, belum sungguh-sungguh menjiwai praktik demokrasi dan tata kelola negara.

Ia megah di mimbar, tetapi kerap absen dalam keputusan strategis. Dipuja sebagai simbol, tetapi menguap dalam kelembagaan dan kebijakan.

Alih-alih menjadi penuntun arah, Pancasila terkurung dalam retorika tanpa daya gerak. Padahal, yang kita butuhkan bukan sekadar slogan, melainkan roh yang menghidupkan hukum, lembaga, sistem perwakilan, dan keputusan (Yudi Latif, Kompas, 31/5/2025).

Padahal,  Pancasila di alam kemerdekaan RI menurut perumusnya Ir. Soekarno harus mewujud dalam demokrasi politik, ekonomi atau sosio demokrasi.

Pancasila hanya Simbol

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, dalam praktiknya, Pancasila kerap kali hanya dijadikan simbol yang dibangga-banggakan dalam pidato seremonial, upacara kenegaraan, atau hiasan dinding instansi, tanpa benar-benar diinternalisasi dan diterapkan dalam kebijakan serta perilaku pejabat maupun masyarakat.

Ironi ini tampak jelas ketika nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, justru kerap dilanggar oleh para pemegang kekuasaan.

Ketimpangan sosial, korupsi, pelanggaran HAM, hingga maraknya ujaran kebencian, menunjukkan jauhnya implementasi Pancasila dari realitas kehidupan sehari-hari.

Seperti yang dikatakan oleh cendekiawan dan budayawan, Yudi Latif bahwa Pancasila telah menjadi "mantra kosong" yang kehilangan daya transformatif karena direduksi menjadi alat kekuasaan oleh pemerintah.

Tokoh pendiri bangsa seperti Soekarno pun telah mengingatkan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen mati, melainkan “philosophische grondslag” yang hidup dan harus dibumikan.

Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa Pancasila hanya akan bermakna bila diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dihafal.

Para ahli politik dan filsafat publik seperti Dwight Waldo mengkritik simbolisme politik yang menjauhkan nilai dari praksis. Dalam konteks Indonesia, ini berarti Pancasila sering kali dijadikan perisai retoris untuk menutupi ketidakadilan struktural.

Dengan demikian, Pancasila menghadapi ironi besar: diagungkan secara formal, tetapi diabaikan dalam tindakan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved