Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Tenaga Medis dalam Pertautan Etika dan Hukum

Profesi tenaga medis adalah profesi yang luhur, berakar pada prinsip melayani kemanusiaan dengan integritas dan penuh empati.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - M Aris Munandar Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin/ Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi 

Bentuk Penyelesaian Perkara Medis

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menghadirkan banyak hal baru. Termasuk mekanisme penyelesaian perkara atau perselisihan medis.

Sebagaimana dalam Pasal 306 ayat (3) UU Kesehatan yang menegaskan bahwa "Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Pertanyaannya kemudian ialah, perbuatan seperti apakah yang dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif itu?

Sejauh ini, baik di dalam UU Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, belum mengatur mengenai perkara medis yang dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.

Namun, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif dapat ditemui pada beberapa peraturan sektoral lainnya seperti Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dapat diduga bahwa dalam konteks UU Kesehatan, penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif dikembalikan pada mekanisme peraturan sektoral masing-masing instansi yang telah ada saat ini.

Akan tetapi, persoalan lainnya adalah tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.

Sebagai contoh, dalam ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diuraikan  bahwa Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Hal ini dapat dimaknai bahwa dalam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum tenaga medis terhadap pasien tidaklah dapat diselesaikan secara keadilan restoratif, kendatipun dalam UU Kesehatan dimungkinkan hal tersebut dilakukan dalam perkara medis lainnya.

Dapat ditekankan pula bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum tenaga medis bukanlah digolongkan sebagai perkara medis semata, melainkan terkualifikasi sebagai tindak pidana yang secara umum sering dilakukan oleh pelaku lainnya, termasuk namun tidak terbatas pada tenaga medis.

Penanganannya pun harus menyesuaikan dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun hal itu dilakukan oleh tenaga medis yang notabenenya berada dalam lingkup rumah sakit sekali pun.

Hanya saja memang sangat susah membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh oknum seorang Dokter terhadap Pasien ketika berada dalam satu ruangan yang tidak memiliki CCTV.

Akan tetapi, dalam doktrin res ipsa loquitur (sesuatu yang berbicara sendiri).

Sehingga betapa pun seorang pelaku mengelak dan tidak mengakui kejahatannya, namun fakta-fakta telah nyata di hadapannya maka hal itu telah menjadi pembenaran untuk membuktikan seorang pelaku yang bersembunyi dibalik jubah putih nya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved