Opini Alem Febri Sonni
Ramadhan dan Transformasi Komunikasi Sosial di Era Digital
Ramadhan bukan sekadar ritual puasa dan peningkatan ibadah formal semata.
Jika dulunya tokoh agama, akademisi, dan media mainstream menjadi rujukan utama informasi, kini otoritas tersebut tersebar.
Influencer media sosial, YouTuber, bahkan anonymous account di Twitter/X seringkali memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan sumber-sumber konvensional.
Pergeseran ini tentu membawa implikasi pada kualitas wacana publik yang berkembang.
Dalam konteks dinamika tersebut, Ramadhan hadir sebagai momentum spiritual yang potensial untuk mengevaluasi dan memperbaiki pola komunikasi sosial kita. Lalu, bagaimana nilai-nilai Ramadhan dapat menjadi fondasi untuk membangun komunikasi yang lebih sehat dan konstruktif?
Nilai-Nilai Ramadhan Sebagai Fondasi Komunikasi Etis
Ramadhan membawa beberapa nilai fundamental yang sangat relevan dengan upaya membangun komunikasi etis di era digital. Berikut adalah beberapa nilai tersebut dan bagaimana relevansinya dengan praktik komunikasi kontemporer:
1. Pengendalian Diri (Self-Control)
Esensi puasa dalam Ramadhan adalah pengendalian diri – menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Nilai ini sangat relevan dengan komunikasi di era digital yang cenderung impulsif dan reaktif.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yale University menemukan bahwa konten yang memicu emosi negatif seperti kemarahan dan ketersinggungan cenderung 2,5 kali lebih viral dibandingkan konten yang netral atau positif. Inilah mengapa konten-konten provokatif begitu mudah menyebar di media sosial.
Pengendalian diri dalam konteks komunikasi digital berarti kemampuan untuk tidak reaktif terhadap provokasi, kemampuan untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya, dan kesediaan untuk berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.
Pengendalian diri juga tercermin dari kemampuan untuk memilih kata dan cara penyampaian yang tepat, terutama ketika berkomunikasi dengan mereka yang berbeda pandangan.
Di Makassar, fenomena "warung kopi digital" di mana diskusi-diskusi yang dulu terjadi di warung kopi kini berpindah ke media social, seringkali kehilangan etika komunikasi yang biasanya hadir dalam interaksi tatap muka.
Orang lebih mudah melontarkan kata-kata kasar, stereotip, bahkan fitnah karena tidak ada kehadiran fisik yang menuntut tanggung jawab langsung.
Nilai pengendalian diri dalam Ramadhan mengingatkan kita bahwa komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan pendapat, tapi juga tentang bertanggung jawab atas dampak dari komunikasi tersebut.
2. Kejujuran dan Integritas (Honesty and Integrity)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.