Opini Alem Febri Sonni
Ramadhan dan Transformasi Komunikasi Sosial di Era Digital
Ramadhan bukan sekadar ritual puasa dan peningkatan ibadah formal semata.
Pertama, tradisi verbal yang kuat.
Masyarakat Makassar dikenal dengan tradisi lisan yang kaya, mulai dari pakelong (syair), pasang (petuah), hingga siri' (harga diri) yang diekspresikan melalui komunikasi verbal yang ekspresif.
Tradisi verbal ini menjadi modal sosial yang berharga dalam membangun kohesi sosial.
Namun di sisi lain, kadang menjadi tantangan tersendiri ketika dihadapkan dengan budaya komunikasi digital yang cenderung singkat, cepat, dan seringkali miskin konteks.
Kedua, transformasi ruang publik.
Jika dahulu pasar, warung kopi, dan mesjid menjadi ruang publik utama tempat masyarakat Makassar bertukar informasi dan membangun konsensus sosial, kini ruang-ruang tersebut telah bertransformasi.
Media sosial, grup WhatsApp, dan forum-forum online menjadi "ruang publik baru" yang mengubah pola komunikasi. Pergeseran ini membawa konsekuensi pada kualitas dan karakteristik komunikasi yang terjadi.
Ketiga, polarisasi dan segregasi informasi.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, Makassar pun tidak luput dari fenomena polarisasi sosial-politik yang tercermin dalam pola komunikasi masyarakatnya.
Algoritma media sosial yang menciptakan "ruang gema" (echo chamber) semakin memperparah segregasi informasi, di mana orang cenderung hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinan politiknya.
Fenomena ini tentu mengancam keutuhan sosial dalam jangka panjang.
Keempat, krisis literasi dan verifikasi.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas literasi digital masyarakat. Akibatnya, hoaks dan disinformasi menjadi fenomena yang akut di tengah masyarakat Makassar.
Riset yang pernah dilakukan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 65 persen responden di Makassar pernah menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, terutama jika informasi tersebut relevan dengan identitas sosial-politik mereka.
Kelima, pergeseran otoritas informasi.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.