Opini Alem Febri Sonni
Menjaga Api Kebebasan Pers di Tengah Intimidasi: Refleksi Atas Teror Terhadap Tempo
Peristiwa ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, melainkan sebuah serangan terhadap salah satu pilar demokrasi kita: kebebasan pers.
Oleh: Dr. Alem Febri Sonni
Pakar Ilmu Komunikasi, Pengurus ISKI Pusat
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa hari yang lalu, kita dikejutkan dengan peristiwa yang sangat memprihatinkan dimana kantor redaksi majalah berita mingguan Tempo menerima kiriman berupa kepala babi dan bangkai tikus.
Peristiwa ini bukan sekadar kasus kriminal biasa, melainkan sebuah serangan terhadap salah satu pilar demokrasi kita: kebebasan pers.
Sebagai akademisi dalam bidang ilmu komunikasi dan jurnalistik, serta sebagai bagian dari Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), saya memandang peristiwa ini sebagai momentum untuk merefleksikan kembali pentingnya menjaga kebebasan pers di Indonesia.
Pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Tempo merupakan bentuk kekerasan simbolik yang sangat jelas.
Dalam perspektif teori komunikasi, khususnya dalam pandangan Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik merupakan bentuk dominasi yang dilakukan secara halus namun memiliki dampak yang sangat nyata.
Meskipun tidak ada kekerasan fisik yang langsung terjadi, pesan intimidatif yang terkandung di dalamnya justru bisa lebih merusak karena menargetkan aspek psikologis dan sosial dari institusi pers.
Pesan simbolik yang dikirimkan melalui benda-benda menjijikkan tersebut jelas bermaksud untuk menimbulkan rasa takut, jijik, dan tidak aman di lingkungan redaksi.
Dalam analisis framing, tindakan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk membingkai aktivitas jurnalistik sebagai sesuatu yang "kotor" atau "haram" yang pantas mendapatkan balasan serupa.
Ini adalah upaya delegitimasi terhadap kerja-kerja jurnalistik yang sesungguhnya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.
Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan pers ISKI Pusat No.: 02/ISKI-PUSAT/III/2025: "Pengiriman pesan berupa bangkai binatang ke kantor redaksi Tempo, merupakan tindakan intimidatif dan teror yang nyata-nyata merendahkan nilai-nilai kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945." Perspektif ini sangat tepat karena bentuk-bentuk intimidasi seperti ini, jika dibiarkan, dapat menimbulkan efek pendinginan (chilling effect) dalam dunia jurnalistik Indonesia.
Konsep "efek pendinginan" (chilling effect) dalam studi jurnalistik merujuk pada situasi di mana jurnalis menjadi ragu-ragu, takut, atau menghindar untuk memberitakan isu-isu sensitif atau melakukan investigasi mendalam karena takut akan konsekuensi negatif yang mungkin mereka terima.
Inilah yang menjadi bahaya terbesar dari intimidasi simbolik seperti yang dialami Tempo.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.