Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ngopi Akademik

Ngopi Akademik Sosiolog Unhas: Laut Makan Pagar

perspektif Sosiologi, pagar laut ini bukan sekadar struktur fisik, melainkan simbol intervensi manusia terhadap ruang publik

|
Editor: AS Kambie
dok.tribun
Foto terbaru Dr Rahmat Muhammad, Januari 2025. Rahmat Muhammad adalah pengasuh Kolom Ngopi Akademik yang terbit setiap hari Kamis di Tribun Timur cetak. Ngopi Akademik juga akronim dari Ngobrol Politik Akademik. 

Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Program Studi Doktor Sosiologi Unhas
 
TRIBUN-TIMUR.COM - Menandai garis batas kepemilikan tanah di darat menjadi sesuatu yang lumrah dan memang sebaiknya dilakukan sesuai regulasi yang ada hingga terbitnya sertifikat  berkekuatan hukum.

Kepastian hukum ini untuk menjaga  dan menjamin kepentingan semua pihak sehingga terhindar dari klaim mengklaim yang kelak juga potensi bermasalah hukum.

Wajar jika di masyarakat kita temukan antar satu dengan yang lain memagari batas tersebut sebagai demarkasi dan informasi bagi pihak lain bahwa lahan tersebut sudah ada yang punya meski dalam kenyataan ada pihak yang menandai dengan cara tidak sah, layaknya prilaku binatang tertentu menandai wilayah kekuasaannya cukup dengan buang air kecil.

Fenomena di darat kini bergeser ke laut, familiar kita istilah pagar makan tanaman untuk menggambarkan prilaku manusia yang dititipi amanah untuk menjaga tapi justru nafsu berkuasa menghinggapi dan memiliki, lalu bagaimanapula jika "Laut Makan Pagar?" tentu diluar kewajaran tapi faktanya terjadi yang dalam minggu ini kita disuguhi pemberitaan laut dipagari tapi baru dipersoalkan padahal sudah berlangsung lama.

Banyak pertanyaan menggantung masih belum sulit menemukan jawaban namun yang pasti atas perintah presiden diminta supaya segera dibongkar.

Pembongkaran inilah jadi pembenaran bahwa laut pun punya batas kesabaran atas kehadiran bambu yang terkesan kokoh, meski untuk membongkar Pagar laut ini relatif tidak semudah yang dibayangkan, butuh tenaga, waktu dan dana serta koordinasi antar lembaga bersatu padu mencabut pagar tersebut yang terbuat dari bambu dengan tinggi 6 meter sepanjang 30 kilometer terbentang dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang Banten.

Dibanding dengan pemasangannya terkesan jauh lebih sulit membongkar karena sudah menimbulkan pro dan kontra, saling menyalahkan dan mencurigai satu dengan yang lain, adu kuat argumentasi, bahkan sempat jadi misteri kepemilikan meskipun seiring waktu terkuak juga siapa yang pasang.

Dalam perkembangannya Pagar Laut ini diketahui memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milih (SHM), yang oleh Menteri ATR mengakui tidak sulit untuk dicabut jika ternyata melanggar, meski terkesan tegas tetaplah dinamis di lapangan dalam memutuskan sebagaimana kekhawatiran Menteri KKP di hari pertama pembongkaran, meminta TNI AL yang langsung bertindak untuk menunda demi kepentingan penyelidikan.

Mis koordinasi antar lembaga mulai terasa, namun akhirnya pagar laut ini tetap dibongkar.

Mengukur kemampuan personil gabungan yang membongkar di hari pertama sepanjang 2 km maka estimasi waktu dibutuhkan setidaknya 15 sampai 20 hari itupun sangat tergantung cuaca, dimungkinkan atau tidak.

Upaya pembongkaran yang melibatkan berbagai pihak ini termasuk TNI AL, Polri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bahkan masyarakat/ nelayan tentu menyita perhatian kita semua, diikuti tanda tanya, mengapa baru sekarang diributkan?

Menteri KKP bahkan sinyalir ada 196 kasus serupa di wilayah Indonesia hanya memang tidak/ kurang dipublikasi oleh media, jika demikian halnya berarti kasus ini akan mengawali pro kontra berkepanjangan untuk mengungkap hampir 200 kasus di daerah lain.

Akankan muncul tokoh yang vokal seperti Kholid berani meneriakkan pelanggaran ini meski dibawah ancaman oleh hegemoni kekuasaan & pengusaha yang telah merugikan kehidupan nelayan selama pagar laut tersebut berdiri kokoh?

Akhirnya kita semua sadari betapa fenomena pagar laut di Tangerang ini menggambarkan dinamika relasi antara manusia, lingkungan dan kekuasaan selayaknya harmoni saling menjaga untuk tidak saling merugikan.

Dari perspektif Sosiologi, pagar laut ini bukan sekadar struktur fisik, melainkan simbol intervensi manusia terhadap ruang publik yang semestinya menjadi milik bersama.  

Laut merupakan ruang sosial yang secara tradisional digunakan untuk aktivitas bersama, seperti perikanan dan transportasi.

Ketika pagar laut dibangun, terjadi klaim sepihak atas ruang ini mengingatkan kita pada konsep "privatisasi ruang publik," di mana pihak tertentu sering kali mereka yang memiliki kuasa atau sumber daya dalam mengontrol akses yang seharusnya bebas bagi semua.

Privatisasi semacam ini tidak hanya merugikan nelayan lokal, tetapi juga memunculkan konflik kepentingan antara masyarakat kecil dan pihak yang lebih kuat.  

Dari sisi masyarakat lokal, keberadaan pagar laut memperlihatkan ketimpangan sosial ekonomi yang sering kali tersembunyi.

Nelayan kecil kehilangan akses ke sumber penghidupan mereka, sementara masyarakat umum kehilangan hak atas pantai dan laut.

Hal ini memicu ketidakadilan struktural yang membuat kelompok rentan semakin terpinggirkan. 

Namun, tanggapan pemerintah, seperti pembongkaran pagar, menunjukkan pentingnya pengawasan dan regulasi dalam melindungi ruang publik.

Ini menegaskan bahwa negara memiliki peran untuk menjaga keseimbangan kepentingan masyarakat dengan pihak yang memiliki kekuasaan.  

Secara keseluruhan kasus memagari laut ini mengingatkan kita pada pentingnya solidaritas sosial dan keberanian untuk mempertanyakan praktik yang melanggar kepentingan bersama.

Sebagai Sosiolog, kita belajar bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menjunjung nilai keadilan, akses setara, dan keberlanjutan lingkungan.

Jika hal ini diabaikan bukan tidak mungkin candaan seseorang untuk memagari udara, mengklaim kepemilikan langit akan terwujud setidaknya terkesan main tapi potensi menjadi sesuatu yang serius tatkala negara takluk dan didikte oleh ego seseorang, jadilah oknum tersebut berusaha Pagar Laut, Pagar Darat dan Pagar Udara entah Pengusaha atau Penguasa itu sendiri, cukup jadi pelajaran ketika alam (laut) yang makan pagar berarti masalah itupun mendesak diselesaikan tanpa menimbulkan masalah baru, semoga.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved