Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Demokrasi yang Tercabik

bersusah payah kita merajut demokrasi di negeri ini dari kusamnya sistem orde baru kala itu.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok tribun
Juanto Avol, Komisioner Bawaslu Gowa 

Maka nampaklah, sebenarnya pola itu merawat budaya politik transaksional yang menciptakan lahan subur bagi aktor politik tertentu.

Akibatnya, yang terjadi hanya disorientasi kebijakan terhadap publik, dampaknya akan sangat bias, dan cenderung pada kepentingan segelintir elite dan golongannya. 

Sementara hak kebutuhan masyarakat terabaikan, dan kepala daerah yang dipilih DPRD tadi, hanya akan bertanggung jawab kepada kelompok parlemen yang memilih mereka, bukan kepada rakyat.

Nampaklah sistem itu bukan sekadar pengabaian dari prinsip akuntabilitas, melainkan "pengkhianatan" terang-terangan terhadap rakyat.

Merampas Partisipasi Politik Rakyat

Sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, sebenarnya membungkam partisipasi rakyat dalam proses demokrasi, mereka diamputasi tanpa hak untuk memilih langsung calon pemimpinnya.

Akhirnya, rakyat kehilangan kuasa, nilai suara, ruang berpikir, dan semangat untuk ikut terlibat dalam menentukan pemimpin masa depan di daerahnya. 

Pola-pola itu justeru terlihat sebagai upaya sistematis yang merampas, untuk mematikan pendidikan politik aktif rakyat, mengembalikan posisi mereka sebagai objek yang pasif.

Pemilihan melalui DPRD tidak lain adalah mekanisme untuk memperkuat cengkeraman oligarki politik. Dengan sistem ini, nantinya hanya segelintir aktor politik yang punya kuasa atas proses penentuan kepala daerah. 

Jika dipahami, sebenarnya cara itu pula mendegradasi ruang bagi kandidat independen, profesional, atau tokoh masyarakat, yang tidak memiliki akses ke elite parpol, karena boleh jadi ruang (tutup pintu) tersebut menjadi permainan eksklusif para penguasa berkedok demokrasi.

Memang, munculnya beragam argumentasi penghematan biaya Pilkada menjadi pandangan praktis, tetapi itu tak serta merta menjadi mutlak sebagai sebuah keputusan sistem yang tepat, sebab argumentasi itu bisa jadi absurd dan justeru sebaliknya, mengakibatkan biaya pemilihan semakin besar akibat transaksional mahar politik dan kampanye cost politik.

Jika dipahami lebih dalam, sebenarnya demokrasi adalah investasi jangka panjang yang jauh lebih berharga dan murah daripada penghematan sesaat yang instan dan terburu-buru.

Penghapusan pemilihan langsung atas nama efisiensi, terlihat bak langkah mencabik demokrasi dari akarnya, padahal upaya yang sudah lama kita dibangun dengan pemikiran-pemikiran tidak sempit nun panjang adalah harapan kedaulatan rakyat.

Jika menerima wacana pengalihan itu, maka sama halnya merendahkan martabat rakyat, mengorbankan masa depan harapan tata kelola pemilihan yang bersih dan akuntabel.

Olehnya, sistem pemilihan kepala daerah melalui legislatif hanyalah bentuk pencabutan hak politik rakyat yang sistematis terhadap demokrasi, dalam menentukan masa depan mereka sendiri. 

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved