Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Demokrasi yang Tercabik

bersusah payah kita merajut demokrasi di negeri ini dari kusamnya sistem orde baru kala itu.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok tribun
Juanto Avol, Komisioner Bawaslu Gowa 

Oleh Juanto Avol

Anggota Bawaslu Gowa

TRIBUN-TIMUR.COM- Lama sudah, bersusah payah kita merajut demokrasi di negeri ini dari kusamnya sistem orde baru kala itu.

Kini malah terasa dikoyak, bak dikebiri dengan wacana yang lusuh tuk balik ke masa lalu. 

Kita mungkin teringat, seorang tokoh pegiat demokrasi Prof. Ignas Kleden, berkata, demokrasi bukanlah satu-satunya sistem terbaik didunia ini, tetapi ia salah satu sistem yang paling sedikit tingkat keburukannya diibanding yang lain.

Dalam hidup bernegara kita selama ini, kala mengenang di beberapa wilayah Indonesia, tumbuhnya beragam program pendidikan demokratisasi yang pernah terus digaungkan oleh beberapa aktor demokrasi, sebagai upaya penguatan sistem, selama kurang lebih satu setengah dekade masih terasa relevan.

Bila dicermati, program-program itu telah membangun kesadaran politik kewargaan pada kemajuan demokrasi daerah, yang berorientasi menentukan pemimpin rakyat secara langsung.

Namun, menyimak konteks kini diberbagai media, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD kembali digaungkan. 

Dalam menyikapi hal itu, diperlukan kehati-hatian mengurai nalar, sebab bisa jadi langkah tersebut justeru berpotensi mencabik-cabik prinsip demokrasi, sekaligus mempermalukan cita-cita reformasi.

Dengan sistem lampau pemilihan demikian (perwakilan), khalayak orang menilainya bukan hanya sebagai langkah mundur, tetapi mereka bahkan berpandangan apatis, jangan-jangan itu "konspirasi politik" yang secara terang-terangan mengkhianati kedaulatan rakyat, dan membuka jalan lebar dominasi oligarki. 

Kritik wacana itu nampaknya merebak, publik melihatnya sebagai pemusatan kekuasaan, sentralistik di tangan elite politik. Sebab, pola pemilihan kepala daerah seperti itu, secara jelas memusatkan kekuasaan di tangan segelintir aktor politik lokal, menjadikan mereka "tuhan kecil" yang menentukan nasib masyarakat. 

Mencermati dalam praktiknya, fakta ini adalah bentuk monopoli kekuasaan yang merampas dan mengoyak hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung.

Dan sesungguhnya, sistem ini secara de facto menghapus keterlibatan publik dalam proses politik, menjadikan demokrasi hanya jargon tanpa makna demokratis.

Di masa lampau, pemilihan kepala daerah di parlemen sana, sering kali hanya menjadi ajang tawar-menawar kekuasaan, dimana suara anggota DPRD juga "diperdagangkan" dengan harga tak murah.

Akhirnya, kepala daerah yang terpilih nantinya dalam sistem ini cenderung lebih banyak menghabiskan energi untuk membayar "utang politik" kepada legislator daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan mendasar rakyat.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved