Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Andi Nurlela

Menakar Makna Keberagaman Menuju Kampus Inklusi

Inklusivitas bukan berarti membenarkan setiap hal, melainkan bagaimana cara menciptakan ruang dialog yang sehat di mana semua pihak dapat diskusikan

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Menakar Makna Keberagaman Menuju Kampus Inklusi
dok.tribun
Andi Nurlela, Dosen Departemen Sosiologi Fisip Universitas Hasanuddin

Oleh: Andi Nurlela  
Dosen Departemen Sosiologi Fisip Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin deras, keberagaman bukan lagi sekadar tema sampingan.

Keberagaman telah menjadi topik utama dalam diskusi-diskusi mengenai peran pendidikan tinggi. 

Kampus, sebagai institusi pendidikan yang berfungsi mendidik dan membentuk karakter, bertemu dengan berbagai tuntutan agar membuka diri terhadap perbedaan yang ada di dalam maupun di luar lingkup akademik. 

Keberagaman tidak hanya mencakup aspek suku, agama, ras, dan budaya, tetapi kini juga meluas ke aspek nilai, identitas, serta orientasi kehidupan yang semakin beragam. 

Dalam konteks ini, "inklusivitas" hadir sebagai jargon yang menyerukan penerimaan dan penghargaan terhadap semua bentuk perbedaan.

Kendati demikian, tantangan muncul ketika keberagaman ini berpotensi bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat yang telah lama menjadi landasan bagi keharmonisan sosial. 

Di Indonesia, masyarakat dikenal kuat memegang nilai-nilai budaya, norma agama, dan adat istiadat yang berfungsi sebagai pemandu moral bagi setiap individu.

Perguruan tinggi, diharapkan bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai institusi yang menanamkan dan menjaga nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi moral bangsa.

Isu inklusivitas sering kali menimbulkan dilema tersendiri ketika interpretasinya membawa implikasi yang dapat bersinggungan dengan pandangan mayoritas mengenai moralitas. 

Bagaimana kampus dapat mengakomodasi keberagaman tanpa mencederai identitas moral yang telah lama dijunjung tinggi? 

Apakah inklusivitas berarti memberikan ruang bagi semua perbedaan, termasuk yang mungkin bertentangan dengan norma agama dan norma sosial? 

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya memerlukan jawaban praktis, tetapi juga pendekatan yang lebih mendalam melalui pemahaman sosiologis dan historis.

Menggali Makna Keberagaman dan Inklusivitas dalam Konteks Pendidikan

Dari beberapa pandangan para tokoh sosiologi, keberagaman melibatkan berbagai dimensi identitas, termasuk agama, suku, budaya, nilai, orientasi, dan ekspresi diri. 

Emile Durkheim, sosiolog klasik, berpendapat bahwa masyarakat membutuhkan nilai-nilai kolektif yang menjadi perekat bagi keberlangsungannya. 

Dalam konteks pendidikan, keberagaman idealnya tidak hanya mencakup penerimaan terhadap perbedaan, tetapi juga pemeliharaan nilai-nilai fundamental yang menyatukan komunitas akademik. 

Jika kampus dituntut inklusif, konsep tersebut harus menekankan pada perbedaan yang tidak melanggar norma, nilai, dan adat yang sudah lama dipegang masyarakat sebagai panduan moral.

Dilema muncul ketika kebebasan individu berhadapan dengan batasan moral yang dianut mayoritas. 

Menurut Karl Marx, ketidakseimbangan kekuasaan antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam masyarakat dapat menimbulkan gesekan. 

Dalam situasi ini, ketegangan antara nilai tradisional dan permintaan inklusivitas dari kelompok tertentu menantang institusi untuk menyeimbangkan prinsip keberagaman dan moralitas.

Belajar dari Pengalaman Kaum Nabi Luth 

Kisah kaum Nabi Luth dalam perspektif keagamaan, menjadi refleksi penting dalam memahami dampak degradasi moral dalam sebuah masyarakat. 

Kaum Luth tersebut digambarkan sebagai masyarakat yang menyimpang dari norma agama, melakukan perilaku yang bertentangan dengan ajaran Tuhan, hingga akhirnya mendapatkan hukuman sebagai akibat dari tindakan mereka. 

Kisah ini sering dirujuk sebagai pelajaran mengenai risiko hilangnya nilai-nilai moral dalam masyarakat yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan bersama.

Bagi institusi pendidikan, kisah Kaum Luth juga menjadi pengingat untuk senantiasa menjaga moralitas di tengah keberagaman yang ada. 

Pendidikan tinggi tidak hanya memiliki fungsi mencerdaskan tetapi juga berperan dalam menjaga nilai-nilai sosial yang berlaku agar tidak terkikis oleh pengaruh yang merusak. 

Penyimpangan yang dibiarkan atas nama keberagaman tanpa mempertimbangkan norma yang berlaku dapat menciptakan ketidakseimbangan moral dalam masyarakat, sehingga berisiko mengancam harmoni sosial. 

Dalam konteks ini, keberagaman dan inklusivitas harus diupayakan selaras dengan norma dan etika yang dijunjung tinggi agar kampus tetap menjadi ruang pembelajaran yang positif dan konstruktif bagi semua pihak.

Tantangan Kampus Menuju Keberagaman dan Inklusivitas

Tantangan utama bagi kampus adalah bagaimana merangkul keberagaman tanpa mencederai nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat. 

Pendidikan inklusif, dalam pandangan sosiolog Robert Merton, hanya dapat berjalan efektif jika seluruh unsur dalam sistem tersebut berjalan selaras. 

Artinya, kampus yang ideal harus mampu memfasilitasi perbedaan selama perbedaan tersebut tidak mengganggu nilai-nilai kolektif yang ada.

Penting untuk menyadari bahwa setiap kampus memiliki karakter dan budaya lokal yang berbeda. 

Universitas sebagai lembaga pendidikan, tidak hanya dituntut untuk menjadi tempat belajar bagi mahasiswa tetapi juga menjadi role model yang menjunjung tinggi etika dan moralitas. 

Nilai-nilai ini bukan sekadar pembatas, melainkan landasan agar kampus tetap harmonis dalam keberagaman.

Inklusivitas bukan berarti membenarkan setiap hal, melainkan bagaimana cara menciptakan ruang dialog yang sehat di mana semua pihak dapat mendiskusikan nilai, norma, dan pandangan tanpa mencederai satu sama lain. 

Keberagaman yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan norma agama dan norma sosial hanya akan berujung pada perpecahan.

Sosiologi Moral dan Nilai Kolektif

Dalam teori Sosiologi Moral yang dirumuskan oleh Durkheim, disebutkan bahwa norma dan nilai kolektif yang terbentuk di masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial. 

Tanpa kontrol ini, masyarakat akan mengalami disfungsi, dimana perilaku menyimpang tidak lagi dianggap masalah dan norma lama kehilangan kekuatannya. 

Dalam konteks kampus, hal ini berarti bahwa institusi pendidikan seharusnya mempertahankan identitas moral sebagai panduan dalam menentukan batasan inklusivitas.

Beberapa sosiolog lain, seperti Talcott Parsons, menekankan pentingnya sistem nilai dalam menjaga stabilitas suatu institusi. 

Sekaitan dengan hal ini, kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai yang telah lama menjadi fondasi masyarakat. 

Meskipun menerima keberagaman adalah hal yang penting, mengabaikan norma yang sudah tertanam di masyarakat justru akan membawa dampak yang merugikan.

Mengedepankan Pendidikan Moral dalam Konteks Kampus Inklusif

Kampus inklusif seharusnya tidak hanya berfokus pada memberikan ruang bagi berbagai identitas untuk eksis, tetapi juga menanamkan pemahaman bahwa kebebasan seseorang berakhir ketika mulai mengancam nilai-nilai kolektif. 

Dalam pendekatan ini, pendidikan moral menjadi hal yang sangat penting. 

Mahasiswa perlu memahami bahwa norma dan nilai masyarakat bukanlah hal yang dapat diabaikan atau dianggap sepele, melainkan prinsip dasar yang menjaga keharmonisan hidup bersama.

Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah melalui dialog terbuka yang membahas mengenai pentingnya norma dalam masyarakat. 

Dengan demikian, mahasiswa dapat melihat bahwa norma bukanlah sekadar aturan yang membatasi kebebasan, tetapi sebagai panduan hidup yang membantu menjaga stabilitas sosial.

Menuju Kampus Inklusif yang Bertanggung Jawab

Menciptakan kampus inklusif yang bertanggung jawab, perlu adanya langkah-langkah yang tidak hanya mengakomodasi keberagaman, tetapi juga tetap berpijak pada norma dan nilai moral yang berlaku di masyarakat. 

Pertama, kampus harus merumuskan kebijakan yang jelas terkait keberagaman. Kebijakan ini hendaknya mengakomodasi seluruh perbedaan yang ada di kampus, baik dari segi budaya, agama, maupun suku, dengan tetap memperhatikan norma dan moral yang dianut masyarakat. 

Selanjutnya, kampus perlu mengadakan diskusi terbuka secara berkala yang melibatkan semua pihak, termasuk mahasiswa, dosen, dan tokoh masyarakat. 

Diskusi ini bertujuan untuk membangun pemahaman bersama mengenai pentingnya keberagaman dalam lingkungan akademik tanpa meninggalkan norma sosial yang ada.

Sebagai langkah lanjutan, kampus bisa menyelenggarakan program pendidikan moral dan sosial yang meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. 

Program ini dapat mencakup seminar, workshop, atau kursus singkat tentang pentingnya integritas moral dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan kampus. 

Terakhir, kampus harus bisa mengakomodasi perbedaan tanpa melanggar norma. 

Artinya, kebijakan yang dibuat hendaknya mendukung keberagaman tanpa mengabaikan nilai yang berlaku. 

Dengan pendekatan ini, kampus tidak hanya menjadi tempat yang inklusif bagi semua pihak, tetapi juga tetap relevan dan bertanggung jawab dalam menjaga tatanan sosial yang ada.

Konklusi

Menakar makna keberagaman menuju kampus inklusif adalah upaya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang merangkul perbedaan tanpa mengabaikan nilai-nilai moral yang sudah tertanam di masyarakat. 

Kisah kaum Luth memberikan pelajaran bahwa perilaku yang menyimpang dari norma berpotensi menghancurkan tatanan masyarakat. 

Oleh karena itu, kampus harus tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi panduan sosial, karena tanpa nilai-nilai tersebut, kampus tidak akan bisa menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif. 

Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi, harus bisa menjadi pelopor dalam menciptakan ruang yang menghargai keberagaman, namun tetap mengedepankan nilai-nilai luhur yang menjadi identitas masyarakat.

 Keberagaman dan inklusivitas yang bertanggung jawab adalah keberagaman yang tidak mencederai norma agama, norma sosial, maupun nilai moral yang menjadi landasan bagi keharmonisan sosial.

***

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved